Spirit ritual
Dalam tradisi mistik, ritual memang menjadi salah satu bagian dari proses perjalanan untuk mendapatkan pencerahan lahir batin dari Tuhan. Namun pencerahan lahir dan batin bukan tujuan utamanya, karena tujuan utamanya ialah missi perdamaian dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, untuk tujuan ini, starting keyakinan keagamaan haruslah dimulakan dengan mengenal Tuhan secara benar, kemudian menghampiri-Nya, sehingga bisa melihat-Nya, menyadari akan keagungannya, kehebatannya, dan dengan haqq al-yaqin meyakini akan kemahaesaan-Nya. Sedangkan akhir perjalanannya ialah pulang ke alam kehidupan nyata untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam.
Kadang-kadang kita salah kaprah, memahami ritual sebagai spiritual atau sebaliknya. Padahal tidak tentu demikian. Jaman sekarang, ritual kadang-kadang telah dijadikan ajang pamer kekuatan masa, atau daya tarik public untuk tujuan-tujuan tertentu. Bukan berarti tidak boleh, yang demikian itu baik-baik saja, tetapi akan lebih baik lagi jika ritual digelar untuk membangkitkan spirit perdamaian yang harus diemban sebagai khalifah fi al-ardl. Ritual adalah baik dilakukan secara berjamaah, dan lebih baik lagi jika tetap dilakukan walau tidak secara berjamaah.
Namun masalahnya, kadang-kadang ahli spiritual yang suka melakukan ritual oleh sebagian masyarakat dilihat dengan menggunakan sebelah mata, karena perkara yang ramai dibincangkan oleh spiritualis adalah masalah dunia dan sikap hidup terhadapnya. Hampir mereka semufakat untuk menolak dominasi dunia dan keduniaan ini terhadap dirinya dengan bermacam cara dan laku, dengan bermacam riyadloh dan latihan, ‘uzlah dan zuhud, berhaus berlapar perut, bertongkat mata di waktu malam. Dari kenyataan inilah timbul kesalahan paham banyak orang, bahwa bahwa ritual dan masyarakat modern adalah dua sifat yang bertolak belakang. Spiritualisme sering dianggap “berseberangan” dengan nilai-nilai hidup masyarakat modern. Malahan, sikap hidup zuhud, pasrah, kerendahan hati, cinta sejati tanpa pamrih, dan lain sebagainya dianggap hanya cocok untuk kehidupan tradisional. Dikatakan, ahli ritual itu orang yg pemalas, bodoh, dan miskin.
Sebahagian orang lantas mempertanyakan, menurut adat dan kebiasaan, dipandang dari segi lahir dan kenyataan, bagaimana nanti nasib umat jika mereka terus-menerus demikian? Mana lagi orang yang mampu berzakat? Mana lagi kegiatan membangun mesjid? Mana lagi perjuangan? dan bermacam pertanyaan yang diajukan.
Ada yang mencela sikap mereka, dianggap hanya mengurus dirinya sendiri, tidak lagi menghiraukan perjuangan dan kepentingan masyarakat banyak. Namun mereka tetap begitu dan terus begitu.
Sebenarnya, tuduhan bahwa spiritualisme menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi tidak dapat dibenarkan kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang jumlahnya sangat kecil.
Secara historis, menunjukkan bahwa pada umumnya para spiritualis tidak menjauhi kehidupan duniawi. Mereka memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan misalnya, peran Khawajah Nizam al-Mulk, Wazir Dinasti Saljuk, berpartisipasi langsung membangun universitas-universitas atau madrasah. Hal yang sama juga terdapat di kalangan sufi di Indonesia. Dalam bidang politik dan militer, peran mereka tidak kalah pentingnya. Tarekat-tarekat sufi berperan menjadi kekuatan politik di banyak negara Islam. Tarekat Safawi misalnya berubah dari gerakan spirituil semata menjadi gerakan politik dan militer, yang akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Safawi di Persia. Hal yang sama misalnya peran mereka dalam menumpas penjajah kolonial di Indonesia, sehingga spiritualitas mempunyai sumbangan besar bagi pencapaian kemerdekaan negara Indonesia ini. Historical fact ini adalah bukti yang tidak bisa dibantah bahwa untuk mengatakan spiritualisme anti keduniaan, sama sekali tidak beralasan.
Istimewanya, sepatah kata yang keluar dari mulut orang yang telah tercerahkan, ternyata lebih berharga dari sejuta ucapan dan pidato seribu pejabat. Semakin banyak hartanya disedekahkan untuk kepentingan ummat semakin banyak pula rezki yang didapat. Sedetik doa yang dipanjatkan mampu membangkitkan semangat juang para wira di medan laga. Tidak jarang terdengar kabar dan berita, pejabat dan menteri datang bersujud sungkem kepadanya memohon restu dan doa. Perkataannya takut dilanggar, nasehatnya disimak dan didengar.
Nabi Sulaiman, adalah satu contoh yang boleh diteladani. Beliau adalah seorang raja yang kaya raya tetapi hatinya tidak tersangkut pada kekayaannya, hatinya benar-benar rumah Allah, selalu berzikir dan memuji kepada Allah, kekayaan dan harta tidak menempati secuil pun ruang di hatinya. Nabi Yusuf pula seorang yang berpangkat dan menjadi rebutan wanita. Baginya, tanda pangkat kehormatan hanyalah sekeping logam, emas atau perak yang terletak di bahu kanan dan kiri. Bukan di hati. Beliau berkahwin tetapi tidak meletakkan wanita dalam hatinya. Kerana hati ini mutlak sepenuhnya sebagai tempat berzikir kepada Allah.
Namun masalahnya, kadang-kadang ahli spiritual yang suka melakukan ritual oleh sebagian masyarakat dilihat dengan menggunakan sebelah mata, karena perkara yang ramai dibincangkan oleh spiritualis adalah masalah dunia dan sikap hidup terhadapnya. Hampir mereka semufakat untuk menolak dominasi dunia dan keduniaan ini terhadap dirinya dengan bermacam cara dan laku, dengan bermacam riyadloh dan latihan, ‘uzlah dan zuhud, berhaus berlapar perut, bertongkat mata di waktu malam. Dari kenyataan inilah timbul kesalahan paham banyak orang, bahwa bahwa ritual dan masyarakat modern adalah dua sifat yang bertolak belakang. Spiritualisme sering dianggap “berseberangan” dengan nilai-nilai hidup masyarakat modern. Malahan, sikap hidup zuhud, pasrah, kerendahan hati, cinta sejati tanpa pamrih, dan lain sebagainya dianggap hanya cocok untuk kehidupan tradisional. Dikatakan, ahli ritual itu orang yg pemalas, bodoh, dan miskin.
Sebahagian orang lantas mempertanyakan, menurut adat dan kebiasaan, dipandang dari segi lahir dan kenyataan, bagaimana nanti nasib umat jika mereka terus-menerus demikian? Mana lagi orang yang mampu berzakat? Mana lagi kegiatan membangun mesjid? Mana lagi perjuangan? dan bermacam pertanyaan yang diajukan.
Ada yang mencela sikap mereka, dianggap hanya mengurus dirinya sendiri, tidak lagi menghiraukan perjuangan dan kepentingan masyarakat banyak. Namun mereka tetap begitu dan terus begitu.
Sebenarnya, tuduhan bahwa spiritualisme menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi tidak dapat dibenarkan kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang jumlahnya sangat kecil.
Secara historis, menunjukkan bahwa pada umumnya para spiritualis tidak menjauhi kehidupan duniawi. Mereka memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan misalnya, peran Khawajah Nizam al-Mulk, Wazir Dinasti Saljuk, berpartisipasi langsung membangun universitas-universitas atau madrasah. Hal yang sama juga terdapat di kalangan sufi di Indonesia. Dalam bidang politik dan militer, peran mereka tidak kalah pentingnya. Tarekat-tarekat sufi berperan menjadi kekuatan politik di banyak negara Islam. Tarekat Safawi misalnya berubah dari gerakan spirituil semata menjadi gerakan politik dan militer, yang akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Safawi di Persia. Hal yang sama misalnya peran mereka dalam menumpas penjajah kolonial di Indonesia, sehingga spiritualitas mempunyai sumbangan besar bagi pencapaian kemerdekaan negara Indonesia ini. Historical fact ini adalah bukti yang tidak bisa dibantah bahwa untuk mengatakan spiritualisme anti keduniaan, sama sekali tidak beralasan.
Istimewanya, sepatah kata yang keluar dari mulut orang yang telah tercerahkan, ternyata lebih berharga dari sejuta ucapan dan pidato seribu pejabat. Semakin banyak hartanya disedekahkan untuk kepentingan ummat semakin banyak pula rezki yang didapat. Sedetik doa yang dipanjatkan mampu membangkitkan semangat juang para wira di medan laga. Tidak jarang terdengar kabar dan berita, pejabat dan menteri datang bersujud sungkem kepadanya memohon restu dan doa. Perkataannya takut dilanggar, nasehatnya disimak dan didengar.
Nabi Sulaiman, adalah satu contoh yang boleh diteladani. Beliau adalah seorang raja yang kaya raya tetapi hatinya tidak tersangkut pada kekayaannya, hatinya benar-benar rumah Allah, selalu berzikir dan memuji kepada Allah, kekayaan dan harta tidak menempati secuil pun ruang di hatinya. Nabi Yusuf pula seorang yang berpangkat dan menjadi rebutan wanita. Baginya, tanda pangkat kehormatan hanyalah sekeping logam, emas atau perak yang terletak di bahu kanan dan kiri. Bukan di hati. Beliau berkahwin tetapi tidak meletakkan wanita dalam hatinya. Kerana hati ini mutlak sepenuhnya sebagai tempat berzikir kepada Allah.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI