Arsyad al-Banjari vs Datu Ambulung
Selama ini ada tersebar informasi di masyarakat yang menyatakan Muhammad Arsyad mengambil peran dalam keputusan hukuman mati ke atas Syeikh Abdul Hamid Abulung. Antaranya boleh dilihat dalam pendapat Tim peneliti IAIN ketika menerbitkan laporan hasil seminar "Pemikiran-pemikiran Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari", Zafri Zamzam dalam bukunya Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Ulama Juru Dakwah, juga Abu Daudi dalam bukunya Maulana Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Tuan Haji Besar, menyatakan Arsyad telah memfatwakan hukuman mati ke atas Abdul Hamid. Bahkan Asywadie Syukur malah yakin Arsyad benar-benar telah menfatwakannya. Katanya, fatwa tersebut, masih ada dan terpelihara dalam kitab Tuhfat al-Rāghibīn, salah satu dari sekian banyak karya Arsyad. Dalam ungkapan lebih eksplisit, Asywadie menyatakan latar belakang penulisan kitab tersebut didorong dan atas permintaan sultan Tahmidullah II bin Tamjidullah untuk menghukum mati Abulung yang telah membimbangkan, meresahkan, dan menyebabkan berlakunya fitnah dalam masyarakat Banjar.
Namun ada juga sesetengah cendekiawan termasuk Dr. Abdurrahman SH. MH., menyangkalnya, bahkan tidak percaya yang Arsyad mengeluarkan fatwa hukum bunuh. Apalagi bukti sejarahnya sangat lemah untuk dapat dipertanggungjawabkan. Chumaydi, dalam tulisannya menyatakan telah berupaya mencari bukti catatan sejarah yang dapat menunjukkan secara langsung kalimat fatwa Arsyad seperti yang dinyatakan oleh Asywadie Syukur, namun tidak ditemukan. Bahkan di dalam lembaran-lembaran kitab Tuhfat al-Rāghibīn juga tidak ditemukan pernyataan Arsyad yang mengkafirkan Abulung.
Zurkani Jahja pula cuba meneliti kes Arsyad versus Abdul Hamid dengan mencari tahu isi kandungan kitab-kitab yang dikarang oleh Muhammad Arsyad. Beliau hanya mendapati tulisan Arsyad dalam kitab Tuhfah al-Rāghibīn yang menyebutkan secara umum aliran tasawuf yang dianggp bid’ah dan sesat. Ia menyatakan sebagai berikut:
a. Keyakinan bahwa bila seseorang hamba merasa sampai derajat kasih kepada Allah, sehingga tak ada lagi yang dikasihinya selain Allah, maka terangkatlah daripadanya kewajiban syariat segala yang haram jadi halal baginya salat dan puasa boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, dan membiarkan auratnya terbuka.
b. Golongan Mutakasiliyah yaitu golongan sufi yang meninggalkan usaha dan ikhtiar. Mereka datang kerumah-rumah orang untuk mengemis guna mengisi perut setiap hari, juga mendatangi toko-toko orang hartawan untuk mengambil zakat dan memperoleh sedekah.
c. Keyakinan sementara orang sufi yang menganggap bahwa segala syariat yang diwajibkan seperti : salat, puasa, zakat dan ibadah haji adalah hanya untuk orang-orang awam, sedangkan bagi mereka yang “khas” itu tidak memerlukan semua itu kerana mereka hanya berkehendak kepada yang hadir di dalam hati.
d. Golongan Wujūdiyyah yang berkeyakinan bahwa wujud Allah dalam kandungan segala makhluk, sekalian makhluk adalah wujud Allah Ta’ala di dalam wujud segala makhluk yang banyak. Akibatnya mereka mengaku bahwa wujud mereka sebangsa dengan wujud Allah dan wujud mereka satu dengan wujud Allah.
Tambahan pula, kalau dilihat dari posisi Arsyad dalam struktur kekuasaan kesultanan Banjar, meskipun termasuk orang penting istana, tetapi ia tidak pernah menjadi mufti kerajaan. Ertinya, ia tidak punya kewenangan untuk berfatwa, meskipun tidak menutup ke mungkinan ia boleh menasihatkan pendapat-pendapatnya ke Mahkamah Syarciyyah, salah satu lembaga bahagian kerajaan yang berkhidmat mengeluarkan fatwa masalah-masalah keagamaan secara rasmi. Kebetulan memang yang memegang jawatan sebagai mufti ketika itu adalah cucunya sendiri, iaitu Muhammad Ascad putera dari hasil perkahwinan Uthman dan Syarifah. Namun, apabila nasihatnya tersalurkan ke dalam sebuah institusi dan difatwakan secara meluas, maka fatwa itu bukan lagi miliknya, melainkan milik institusi. Biasanya, kalau sudah masuk ke dalam institusi, suatu nasihat bagaimanapun baiknya sudah menjadi tidak murni lagi, sudah bercampur dengan berbagai-bagai kepentingan, terutama kepentingan politik yang sangat sukar untuk dihindari.
Penting untuk diketahui, bahawa meskipun Arsyad dikenal sebagai ahli Fikah, namun ia juga mendalami tasawuf bahkan pada zamannya ia dianggap ahli suluk dan khalwat sehingga termasuk salah satu khalifah tarikat Sammaniyah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman al-Madani. Justru ada satu karangan Arsyad dalam bidang tasawuf yang dikenal dengan nama kitab Kanz al-Macrifah. Satu perkara yang sukar diterima akal sihat apabila satu ahli tarikat bertelingkah dan menuduh kafir kepada satu ahli yang lain. Apalagi tarikat Arsyad dan tarikat Abulung sama-sama dikategorikan oleh jumhur ulama tasawuf sebagai tarikat muctabarah yang silsilah sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w. Lebih dari itu, sama ada tarikat Naqsyabandiyah yang dianut Abulung mahupun tarikat Sammaniyah yang dianut Arsyad adalah bersesuaian.
Selain itu, dalam pengalaman hidup Arsyad yang mencapai usia 102 tahun, pernah sangat akrab dengan seorang sufi yang dianggap wali bergelar Datu Sanggul dari Tatakan Kabupaten Tapin, Rantau dimana ajaran dan perilakunya mirip dengan Abulung. Konon menurut ceritera rakyat, Datu Sanggul waktu itu dikenal sebagai orang yang kurang waras, tidak pernah terlihat melakukan salat berjamaah termasuk salat jumaat. Anihnya, Sanggul selalu terlihat di Haramayn setiap musim haji dan malah ada yang mengatakan Sanggul pergi ke Mekkah seminggu sekali, iaitu tiap-tiap hari jumaat.
Keakraban Arsyad dengan Sanggul, bermula sejak ia menuntut ilmu di Haramayn, setiap musim haji Arsyad selalu bertemu Sanggul dengan pakaian khas Banjar yang sederhana sambil menjinjing butah, semacam keranjang terbuat dari anyaman rotan. Dalam pertemuan keduanya, sudah barang tentu tidak sekadar bicara soal kampung halaman, tetapi juga dapat diperkirakan terlibat dalam dialog masalah-masalah keagamaan terutama dalam aspek kebatinan.
Hubungan mereka, bukan sekadar perkawanan biasa, tetapi sudah sebagai sahabat karib, yang tingkat keakrabannya sudah seperti saudara sekandung yang saling mendukung dan membela, saling memberi dan menerima, saling mengerti dan percaya. Ini ditandai dengan sebuah kesepakatan bersama, membuat kitab hasil pikiran berdua yang dinamai Kitab Barencong. Mereka berdua juga saling berwasiat, apabila salah satu daripada mereka meninggal dunia, maka yang satu kena memandikannya.
Kenyataan ini, cukup membuktikan bahawa kecil kemungkinan Arsyad menfatwakan vonis mati ke atas Abulung dengan tuduhan kafir dan sesat. Kerana kalau Arsyad melakukannya, bererti ia tidak berlaku adil. Menjatuhkan hukuman mati kepada Abulung, sedangkan tidak kepada Sanggul kawan karibnya. Padahal, sama ada ajaran Sanggul mahupun Hamid adalah sebanding.
Kematian Abulung dan Kepentingan Politik Kerajaan
Daripada huraian di atas sudah jelas, persoalan hukuman mati ke atas Abulung kecil sekali kaitannya dengan ajaran tasawufnya, juga hubungannya dengan Arsyad, kerana di antara kedua-keduanya tidak pernah terjadi konflik sedikitpun, baik secara terbuka mahupun tersembunyi. Diperkirakan ada perkara lain yang lebih bersifat politis. Boleh jadi Abulung merupakan bagian daripada rezim lama yang perlu disingkirkan oleh rezim baru. Antara kebiasaan dalam dunia politik, rezim baru seringkali melakukan pembasmian secara total terhadap rezim lama, sekalipun tidak dianggap sebagai ancaman yang serius. Boleh jadi juga Abulung dianggap sebagai salah seorang sisa rezim lama yang membahayakan, kerana ajarannya pernah menjadi ajaran rasmi kerajaan dalam jangka waktu yang cukup lama, sejak awal-awal berdirinya kesultanan Banjar sampai masa Amirullah Bagus dan bahkan masih berakar kuat pada awal-awal masa pemerintahan Tahmidullah II. Hal ini, ditunjukkan oleh adanya piagam (cop) Kesultanan Banjar yang berbentuk segi empat, di tengah-tengahnya tersusun angka-angka Arab dan di samping bawah tertulis kalimat “Lā Ilāha Illā Allāh huwa Allāh Mawjūd Aku”
Mungkin juga, Abulung dilibatkan oleh oknum keluarga bangsawan ke dalam konflik di dalam kesultanan Banjar yang sentiasa terjadi dan tak kunjung selesai dari keturunan Pangeran Tumenggung dengan keturunan Suriansyah. Ketika Pangeran Tumenggung berkuasa muncul Sultan Suriansyah (1526-1545) dan memberontaknya. Ketika Amirullah Bagus (1660-1663) bertahta, Pangeran Adipati Anum (1663-1679) mengkudeta. Sebaliknya ketika Adipati Anum duduk di tampuk kekuasaan, Amirullah Bagus (1680-1700) melakukan kudeta. Kemudian ketika Tahmidullah II (1761-1801) naik ke atas kursi puncak kekuasaan, Pangeran Amir membuat makar dan melakukan perlawanan .
Pada saat Abulung hidup dan menyebarkan ajarannya, sultan yang memerintah kerajaan Banjar adalah Tahmidullah II yang sebenarnya bukan sultan yang sah, hanya sebagai wali yang memegang kekuasaan sementara, menunggu pewarisnya yang sah tumbuh dewasa. Tetapi, rupanya, lama-kelamaan Tahmidullah II merasa keasyikan berkuasa sehingga tidak mahu lagi menyerahkan tahta kepada anak buahnya, iaitu Pengeran Abdullah, malah membunuhnya.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dimaklumi jika ada sekumpulan orang yang ingin melakukaan pembelaan terhadap Abulung, meskipun sudah sedemikian jauh selisih masanya. Atau boleh dikata sudah sangat terlambat, tetapi bukankah terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Yang jelas memang pemulihan nama baik Abulung perlu terus-menerus dilakukan dan di perjuangkan sampai tercapai tingkat kejernihan yang bisa di sepakati bersama sehingga tidak ada lagi kesan yang menjejaskan sama ada bagi pengikut setia Arsyad mahupun Abulung.
Ada terdapat asumsi di sesetengah ilmuwan Banjar yang walaupun belum terbukti, meyakini Abulung tidak bersalah sama sekali, hanya disalahkan untuk kepentingan politik penguasa yang ingin melestarikan kekuasaannya. Untuk kepentingan politik, agama dilibatkan sebagai issue polemik. Justru, untuk lebih meyakinkan lagi terhadap pembenaran itu, biasanya dilibatkan tokoh agama yang dianggap punya otoriti dan pengaruh yang lebih luas.
Terlepas daripada perkiraan polemik antara Abdul Hamid dengan Arsyad dan perdebatan beberapa kalangan tentang kebenaran wujud pertelingkahan mereka, walau bagaimanapun juga, Abdul Hamid Abulung telah banyak berjasa dalam mengembangkan Islam di daerah kesultanan Banjar sehingga agama Islam diakui sebagai agama rasmi kerajaan. Diketahui pula bahawa komuniti masyarakat Banjar sebelum memeluk agama Islam adalah sebagai penganut agama Hindu atau Kaharingan. Oleh itu, dakwah Islam yang disampaikan Abdul Hamid melalui ajaran tasawuf mendapat respon yang baik daripada kalangan masyarakat Banjar kerana ajaran tasawuf Hamid tidak jauh berbeza dengan ajaran yang dianut masyarakat ketika itu.
Zurkani Jahja pula cuba meneliti kes Arsyad versus Abdul Hamid dengan mencari tahu isi kandungan kitab-kitab yang dikarang oleh Muhammad Arsyad. Beliau hanya mendapati tulisan Arsyad dalam kitab Tuhfah al-Rāghibīn yang menyebutkan secara umum aliran tasawuf yang dianggp bid’ah dan sesat. Ia menyatakan sebagai berikut:
a. Keyakinan bahwa bila seseorang hamba merasa sampai derajat kasih kepada Allah, sehingga tak ada lagi yang dikasihinya selain Allah, maka terangkatlah daripadanya kewajiban syariat segala yang haram jadi halal baginya salat dan puasa boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, dan membiarkan auratnya terbuka.
b. Golongan Mutakasiliyah yaitu golongan sufi yang meninggalkan usaha dan ikhtiar. Mereka datang kerumah-rumah orang untuk mengemis guna mengisi perut setiap hari, juga mendatangi toko-toko orang hartawan untuk mengambil zakat dan memperoleh sedekah.
c. Keyakinan sementara orang sufi yang menganggap bahwa segala syariat yang diwajibkan seperti : salat, puasa, zakat dan ibadah haji adalah hanya untuk orang-orang awam, sedangkan bagi mereka yang “khas” itu tidak memerlukan semua itu kerana mereka hanya berkehendak kepada yang hadir di dalam hati.
d. Golongan Wujūdiyyah yang berkeyakinan bahwa wujud Allah dalam kandungan segala makhluk, sekalian makhluk adalah wujud Allah Ta’ala di dalam wujud segala makhluk yang banyak. Akibatnya mereka mengaku bahwa wujud mereka sebangsa dengan wujud Allah dan wujud mereka satu dengan wujud Allah.
Tambahan pula, kalau dilihat dari posisi Arsyad dalam struktur kekuasaan kesultanan Banjar, meskipun termasuk orang penting istana, tetapi ia tidak pernah menjadi mufti kerajaan. Ertinya, ia tidak punya kewenangan untuk berfatwa, meskipun tidak menutup ke mungkinan ia boleh menasihatkan pendapat-pendapatnya ke Mahkamah Syarciyyah, salah satu lembaga bahagian kerajaan yang berkhidmat mengeluarkan fatwa masalah-masalah keagamaan secara rasmi. Kebetulan memang yang memegang jawatan sebagai mufti ketika itu adalah cucunya sendiri, iaitu Muhammad Ascad putera dari hasil perkahwinan Uthman dan Syarifah. Namun, apabila nasihatnya tersalurkan ke dalam sebuah institusi dan difatwakan secara meluas, maka fatwa itu bukan lagi miliknya, melainkan milik institusi. Biasanya, kalau sudah masuk ke dalam institusi, suatu nasihat bagaimanapun baiknya sudah menjadi tidak murni lagi, sudah bercampur dengan berbagai-bagai kepentingan, terutama kepentingan politik yang sangat sukar untuk dihindari.
Penting untuk diketahui, bahawa meskipun Arsyad dikenal sebagai ahli Fikah, namun ia juga mendalami tasawuf bahkan pada zamannya ia dianggap ahli suluk dan khalwat sehingga termasuk salah satu khalifah tarikat Sammaniyah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman al-Madani. Justru ada satu karangan Arsyad dalam bidang tasawuf yang dikenal dengan nama kitab Kanz al-Macrifah. Satu perkara yang sukar diterima akal sihat apabila satu ahli tarikat bertelingkah dan menuduh kafir kepada satu ahli yang lain. Apalagi tarikat Arsyad dan tarikat Abulung sama-sama dikategorikan oleh jumhur ulama tasawuf sebagai tarikat muctabarah yang silsilah sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w. Lebih dari itu, sama ada tarikat Naqsyabandiyah yang dianut Abulung mahupun tarikat Sammaniyah yang dianut Arsyad adalah bersesuaian.
Selain itu, dalam pengalaman hidup Arsyad yang mencapai usia 102 tahun, pernah sangat akrab dengan seorang sufi yang dianggap wali bergelar Datu Sanggul dari Tatakan Kabupaten Tapin, Rantau dimana ajaran dan perilakunya mirip dengan Abulung. Konon menurut ceritera rakyat, Datu Sanggul waktu itu dikenal sebagai orang yang kurang waras, tidak pernah terlihat melakukan salat berjamaah termasuk salat jumaat. Anihnya, Sanggul selalu terlihat di Haramayn setiap musim haji dan malah ada yang mengatakan Sanggul pergi ke Mekkah seminggu sekali, iaitu tiap-tiap hari jumaat.
Keakraban Arsyad dengan Sanggul, bermula sejak ia menuntut ilmu di Haramayn, setiap musim haji Arsyad selalu bertemu Sanggul dengan pakaian khas Banjar yang sederhana sambil menjinjing butah, semacam keranjang terbuat dari anyaman rotan. Dalam pertemuan keduanya, sudah barang tentu tidak sekadar bicara soal kampung halaman, tetapi juga dapat diperkirakan terlibat dalam dialog masalah-masalah keagamaan terutama dalam aspek kebatinan.
Hubungan mereka, bukan sekadar perkawanan biasa, tetapi sudah sebagai sahabat karib, yang tingkat keakrabannya sudah seperti saudara sekandung yang saling mendukung dan membela, saling memberi dan menerima, saling mengerti dan percaya. Ini ditandai dengan sebuah kesepakatan bersama, membuat kitab hasil pikiran berdua yang dinamai Kitab Barencong. Mereka berdua juga saling berwasiat, apabila salah satu daripada mereka meninggal dunia, maka yang satu kena memandikannya.
Kenyataan ini, cukup membuktikan bahawa kecil kemungkinan Arsyad menfatwakan vonis mati ke atas Abulung dengan tuduhan kafir dan sesat. Kerana kalau Arsyad melakukannya, bererti ia tidak berlaku adil. Menjatuhkan hukuman mati kepada Abulung, sedangkan tidak kepada Sanggul kawan karibnya. Padahal, sama ada ajaran Sanggul mahupun Hamid adalah sebanding.
Kematian Abulung dan Kepentingan Politik Kerajaan
Daripada huraian di atas sudah jelas, persoalan hukuman mati ke atas Abulung kecil sekali kaitannya dengan ajaran tasawufnya, juga hubungannya dengan Arsyad, kerana di antara kedua-keduanya tidak pernah terjadi konflik sedikitpun, baik secara terbuka mahupun tersembunyi. Diperkirakan ada perkara lain yang lebih bersifat politis. Boleh jadi Abulung merupakan bagian daripada rezim lama yang perlu disingkirkan oleh rezim baru. Antara kebiasaan dalam dunia politik, rezim baru seringkali melakukan pembasmian secara total terhadap rezim lama, sekalipun tidak dianggap sebagai ancaman yang serius. Boleh jadi juga Abulung dianggap sebagai salah seorang sisa rezim lama yang membahayakan, kerana ajarannya pernah menjadi ajaran rasmi kerajaan dalam jangka waktu yang cukup lama, sejak awal-awal berdirinya kesultanan Banjar sampai masa Amirullah Bagus dan bahkan masih berakar kuat pada awal-awal masa pemerintahan Tahmidullah II. Hal ini, ditunjukkan oleh adanya piagam (cop) Kesultanan Banjar yang berbentuk segi empat, di tengah-tengahnya tersusun angka-angka Arab dan di samping bawah tertulis kalimat “Lā Ilāha Illā Allāh huwa Allāh Mawjūd Aku”
Mungkin juga, Abulung dilibatkan oleh oknum keluarga bangsawan ke dalam konflik di dalam kesultanan Banjar yang sentiasa terjadi dan tak kunjung selesai dari keturunan Pangeran Tumenggung dengan keturunan Suriansyah. Ketika Pangeran Tumenggung berkuasa muncul Sultan Suriansyah (1526-1545) dan memberontaknya. Ketika Amirullah Bagus (1660-1663) bertahta, Pangeran Adipati Anum (1663-1679) mengkudeta. Sebaliknya ketika Adipati Anum duduk di tampuk kekuasaan, Amirullah Bagus (1680-1700) melakukan kudeta. Kemudian ketika Tahmidullah II (1761-1801) naik ke atas kursi puncak kekuasaan, Pangeran Amir membuat makar dan melakukan perlawanan .
Pada saat Abulung hidup dan menyebarkan ajarannya, sultan yang memerintah kerajaan Banjar adalah Tahmidullah II yang sebenarnya bukan sultan yang sah, hanya sebagai wali yang memegang kekuasaan sementara, menunggu pewarisnya yang sah tumbuh dewasa. Tetapi, rupanya, lama-kelamaan Tahmidullah II merasa keasyikan berkuasa sehingga tidak mahu lagi menyerahkan tahta kepada anak buahnya, iaitu Pengeran Abdullah, malah membunuhnya.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dimaklumi jika ada sekumpulan orang yang ingin melakukaan pembelaan terhadap Abulung, meskipun sudah sedemikian jauh selisih masanya. Atau boleh dikata sudah sangat terlambat, tetapi bukankah terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Yang jelas memang pemulihan nama baik Abulung perlu terus-menerus dilakukan dan di perjuangkan sampai tercapai tingkat kejernihan yang bisa di sepakati bersama sehingga tidak ada lagi kesan yang menjejaskan sama ada bagi pengikut setia Arsyad mahupun Abulung.
Ada terdapat asumsi di sesetengah ilmuwan Banjar yang walaupun belum terbukti, meyakini Abulung tidak bersalah sama sekali, hanya disalahkan untuk kepentingan politik penguasa yang ingin melestarikan kekuasaannya. Untuk kepentingan politik, agama dilibatkan sebagai issue polemik. Justru, untuk lebih meyakinkan lagi terhadap pembenaran itu, biasanya dilibatkan tokoh agama yang dianggap punya otoriti dan pengaruh yang lebih luas.
Terlepas daripada perkiraan polemik antara Abdul Hamid dengan Arsyad dan perdebatan beberapa kalangan tentang kebenaran wujud pertelingkahan mereka, walau bagaimanapun juga, Abdul Hamid Abulung telah banyak berjasa dalam mengembangkan Islam di daerah kesultanan Banjar sehingga agama Islam diakui sebagai agama rasmi kerajaan. Diketahui pula bahawa komuniti masyarakat Banjar sebelum memeluk agama Islam adalah sebagai penganut agama Hindu atau Kaharingan. Oleh itu, dakwah Islam yang disampaikan Abdul Hamid melalui ajaran tasawuf mendapat respon yang baik daripada kalangan masyarakat Banjar kerana ajaran tasawuf Hamid tidak jauh berbeza dengan ajaran yang dianut masyarakat ketika itu.
ass. mohon ijin share.
ReplyDeletemantap gan...saya juga sependapat dengan anda
ReplyDelete