Rosulullah Muhammad s.a.w. yang Ummi
Selain pada QS. 7: 157-158, istilah ummi juga dicantumkan pada surah yang lain: QS 3:20; 75. QS. 62: 2; QS. 2: 78; Q.S. Berdasarkan berbagai ayat inilah ada juga orang yang tidak sependapat dengan tafsiran al-ummiy sebagai orang yang buta huruf. Apalagi dengan penafsiran segelintir orang yang ingin memaksakan missinya. Golongan yang ketiga ini memahami al-ummiy sebagai orang yang tidak mengerti (membaca atau menulis) isi kandungan atau pesan kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Tidak membaca dan menulis bukan berarti tidak pandai membaca dan menulis.
Allah berfirman:
"Orang-orang yang mengikuti Rasul, seorang nabi yang ummi yang mereka temukan (namanya) tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka kepada yang ma'ruf dan melarang mereka dari yang mungkar, yang menghalalkan bagi mereka semua yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S. Al-A'raaf: 157)
Banyak kalangan yang menafsirkan istilah Ummi sebagai buta huruf, yaitu bahwa nabi Muhammad itu buta huruf. Penafsiran yang begini dianggap penting. Al-Mawardi, misalnya beralasan: "Bila ditanyakan: apakah bentuk karunia dalam hal diutusnya seorang Nabi yang ummi? Maka jawabnya adalah ada tiga bentuk. Pertama: Untuk menunjukkan sesuainya keadaan dia dengan kabar dari nabi-nabi sebelumnya.
Kedua: Agar keadaannya sesuai dengan keadaan mereka (kaumnya) sehingga lebih memungkinkan diterima.
Ketiga: Untuk menghindari buruk sangka dalam mengajarkan apa-apa yang didakwahkannya berupa kitab yang dia baca dan hikmah-hikmah yang dia sampaikan." Menurut pendapatku, semua itu merupakan dalil mukjizatnya dan bukti kenabiannya. [Selesai kutipan ringkas dari Tafsir Al-Qurthubi].
Ada juga setengah orang (missionaries) coba menyelewengkan makna Ummi dalam al-Qur’an QS 7: 157-158 kepada pengertian seorang anak yang hanya memiliki ibu, tanpa ayah, karena salah satu arti ummi dalam bahasa Arab ialah ibu, al-ummiy berarti yang dinisbatkan kepada ibu. Dengan demikian, menurut mereka yang dimaksud rasul yang ummiy itu tidak ada lain kecuali Nabi Isa, karena hanya Nabi Isa yang dinisbatkan kepada seorang Ibu, bukan Muhammad s.a.w.
Selain pada QS. 7: 157-158, istilah ummi juga dicantumkan pada surah yang lain: QS 3:20; 75. QS. 62: 2; QS. 2: 78; Q.S. Berdasarkan berbagai ayat inilah ada juga orang yang tidak sependapat dengan tafsiran al-ummiy sebagai orang yang buta huruf. Apalagi dengan penafsiran missionaries yang terkesan memaksakan missinya. Golongan yang ketiga ini memahami al-ummiy sebagai orang yang tidak mengerti (membaca atau menulis) isi kandungan atau pesan kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Tidak membaca dan menulis bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis. Sedangkan al-qur’an menyebutkan Bukan hanya Muhammad al-Nabiy saja yang ummiy tetapi juga kebanyakan kaum Quraisy Mekah pada waktu itu adalah ummiy. Dalam pengertian demikianlah surah al-Baqarah ayat 78: dipahami:
“dan sebagian dari mereka itu ummi, yaitu tidak mengetahui isi Kitab …” (QS. 2: 78)
Demikian juga ketika memahami surah al-Jumuah ayat 2:
"Dialah yang telah mengutus seorang rasul dari kalangan mereka ke tengah ummat yang ummi dari golongan mereka (sama-sama ummi) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka tentang kitab dan hikmah padahal sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata." (Q.S. Al-Jumu'ah: 2)
Sebenarnya polemic dalam masalah (ummi) ini bisa dibilang basi, karena banyak ahli telah membahasnya sejak zaman silam. Walau bagaimanapun, pemahaman yang dilontarkan golongan ketiga sangat sesuai untuk menafsirkan kata ummiy dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas maupun yang berikut ini:
“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hambaNya.” (QS. 3: 20)
Meskipun pandai membaca dan menulis, Nabi Muhammad adalah al-ummiy, Nabi yang tidak membaca isi kandungan kitab-kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Muhammad s.a.w. adalah manusia sempurna yang disempurnakan oleh Allah melalui Nur-Nya dan beliaulah Nur-Nya. Muhammad s.a.w adalah manifestasi sifat Allah di bumi. Rasulullah Muhammad s.a.w. dan Nurnya adalah makhluk Allah. Dia adalah abduh. Bukan Tuhan ataupun anak Tuhan dalam konteks keberagamaan yang tidak dewasa.
Allport, seorang orientalis mengaku ada dua macam tipikal keberagamaan: tidak dewasa dan dewasa. Keberagamaan yang tidak dewasa, agamanya kanak-kanak, memandang Tuhan sebagai “Bapak” yang bertugas melayani kehendaknya: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya. Keberagamaan seperti ini cocok untuk masa kanak-kanak, tetapi menjadi disfungsional ketika orang beranjak dewasa. Keberagamaan yang tak dewasa bersifat menghakimi dan menilai orang lain. Orang yang tidak dewasa menjalankan praktik-praktik agama untuk memenuhi kebutuhannya.
Doktrin sufi adalah untuk mendewasakan keberagamaan seseorang. Sufi menghormati Rasululloh Muhammad s.a.w al-ummiy dengan penghargaan yang begitu tinggi karena ruhnya yang merupakan manifestasi sifat-sifat Tuhan menjadi penyebab kehidupan alam dunia seisinya. Tetapi di mata sufi, Muhammad s.a.w dan ruh ataupun Nurnya tetap saja sebagai rasul dan hamba-Nya.
Hanya kanak-kanak yang tidak dewaa yang menyembah dan menuhankan Nur Muhammad, apalagi nur makhluk yang lain. Karena orang dewasa sadar dan paham bahwa yang berhak disembah sebagai Tuhan hanyalah Dhat yang tak terjangkau oleh akal dan pikiran, tetapi menjangkau dan meliputi akal pikiran dan juga seluruh alam. Dialah Dhat Yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Allah berfirman:
"Orang-orang yang mengikuti Rasul, seorang nabi yang ummi yang mereka temukan (namanya) tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka kepada yang ma'ruf dan melarang mereka dari yang mungkar, yang menghalalkan bagi mereka semua yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S. Al-A'raaf: 157)
Banyak kalangan yang menafsirkan istilah Ummi sebagai buta huruf, yaitu bahwa nabi Muhammad itu buta huruf. Penafsiran yang begini dianggap penting. Al-Mawardi, misalnya beralasan: "Bila ditanyakan: apakah bentuk karunia dalam hal diutusnya seorang Nabi yang ummi? Maka jawabnya adalah ada tiga bentuk. Pertama: Untuk menunjukkan sesuainya keadaan dia dengan kabar dari nabi-nabi sebelumnya.
Kedua: Agar keadaannya sesuai dengan keadaan mereka (kaumnya) sehingga lebih memungkinkan diterima.
Ketiga: Untuk menghindari buruk sangka dalam mengajarkan apa-apa yang didakwahkannya berupa kitab yang dia baca dan hikmah-hikmah yang dia sampaikan." Menurut pendapatku, semua itu merupakan dalil mukjizatnya dan bukti kenabiannya. [Selesai kutipan ringkas dari Tafsir Al-Qurthubi].
Ada juga setengah orang (missionaries) coba menyelewengkan makna Ummi dalam al-Qur’an QS 7: 157-158 kepada pengertian seorang anak yang hanya memiliki ibu, tanpa ayah, karena salah satu arti ummi dalam bahasa Arab ialah ibu, al-ummiy berarti yang dinisbatkan kepada ibu. Dengan demikian, menurut mereka yang dimaksud rasul yang ummiy itu tidak ada lain kecuali Nabi Isa, karena hanya Nabi Isa yang dinisbatkan kepada seorang Ibu, bukan Muhammad s.a.w.
Selain pada QS. 7: 157-158, istilah ummi juga dicantumkan pada surah yang lain: QS 3:20; 75. QS. 62: 2; QS. 2: 78; Q.S. Berdasarkan berbagai ayat inilah ada juga orang yang tidak sependapat dengan tafsiran al-ummiy sebagai orang yang buta huruf. Apalagi dengan penafsiran missionaries yang terkesan memaksakan missinya. Golongan yang ketiga ini memahami al-ummiy sebagai orang yang tidak mengerti (membaca atau menulis) isi kandungan atau pesan kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Tidak membaca dan menulis bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis. Sedangkan al-qur’an menyebutkan Bukan hanya Muhammad al-Nabiy saja yang ummiy tetapi juga kebanyakan kaum Quraisy Mekah pada waktu itu adalah ummiy. Dalam pengertian demikianlah surah al-Baqarah ayat 78: dipahami:
“dan sebagian dari mereka itu ummi, yaitu tidak mengetahui isi Kitab …” (QS. 2: 78)
Demikian juga ketika memahami surah al-Jumuah ayat 2:
"Dialah yang telah mengutus seorang rasul dari kalangan mereka ke tengah ummat yang ummi dari golongan mereka (sama-sama ummi) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka tentang kitab dan hikmah padahal sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata." (Q.S. Al-Jumu'ah: 2)
Sebenarnya polemic dalam masalah (ummi) ini bisa dibilang basi, karena banyak ahli telah membahasnya sejak zaman silam. Walau bagaimanapun, pemahaman yang dilontarkan golongan ketiga sangat sesuai untuk menafsirkan kata ummiy dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas maupun yang berikut ini:
“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hambaNya.” (QS. 3: 20)
Meskipun pandai membaca dan menulis, Nabi Muhammad adalah al-ummiy, Nabi yang tidak membaca isi kandungan kitab-kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Muhammad s.a.w. adalah manusia sempurna yang disempurnakan oleh Allah melalui Nur-Nya dan beliaulah Nur-Nya. Muhammad s.a.w adalah manifestasi sifat Allah di bumi. Rasulullah Muhammad s.a.w. dan Nurnya adalah makhluk Allah. Dia adalah abduh. Bukan Tuhan ataupun anak Tuhan dalam konteks keberagamaan yang tidak dewasa.
Allport, seorang orientalis mengaku ada dua macam tipikal keberagamaan: tidak dewasa dan dewasa. Keberagamaan yang tidak dewasa, agamanya kanak-kanak, memandang Tuhan sebagai “Bapak” yang bertugas melayani kehendaknya: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya. Keberagamaan seperti ini cocok untuk masa kanak-kanak, tetapi menjadi disfungsional ketika orang beranjak dewasa. Keberagamaan yang tak dewasa bersifat menghakimi dan menilai orang lain. Orang yang tidak dewasa menjalankan praktik-praktik agama untuk memenuhi kebutuhannya.
Doktrin sufi adalah untuk mendewasakan keberagamaan seseorang. Sufi menghormati Rasululloh Muhammad s.a.w al-ummiy dengan penghargaan yang begitu tinggi karena ruhnya yang merupakan manifestasi sifat-sifat Tuhan menjadi penyebab kehidupan alam dunia seisinya. Tetapi di mata sufi, Muhammad s.a.w dan ruh ataupun Nurnya tetap saja sebagai rasul dan hamba-Nya.
Hanya kanak-kanak yang tidak dewaa yang menyembah dan menuhankan Nur Muhammad, apalagi nur makhluk yang lain. Karena orang dewasa sadar dan paham bahwa yang berhak disembah sebagai Tuhan hanyalah Dhat yang tak terjangkau oleh akal dan pikiran, tetapi menjangkau dan meliputi akal pikiran dan juga seluruh alam. Dialah Dhat Yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI