Gus Dur pemimpin yang sufi
Al-Qusyairiy menyatakan dalam kitab al-Risalah bahwa seorang sufi adalah mereka yang melihat alas an-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Sufi, seperti bumi selalu bersikap baik terhadap keburukan yang dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan apapun selain kebaikan. Sufi juga seperti awan, memberi keteduhan kepaa semua makhluk, dan seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.
Gus Dur juga seorang sufi. Dalam banyak kasus, Ia adalah seorang yang pemaaf, meski kepada musuh yang sangat jahat sekalipun. Tuduhan agen zionis, murtad karena membela non-muslim, dan sebagainya tidak ditanggapi dengan hati yang sempit, bahkan tidak menaruh dendam. Gus Dur juga biasa dipuji oleh penyokongnya, tetapi pujian itu tidak membuatnya lupa diri, malah Ia tahu diri. Itulah sifat seorang sufi.
Said Jamhuri dalam disertasi doktornya, Kepemimpinan Nahdlatul Ulama, Studi kasus Abdurrahman Wahid (1999) menyatakan bahwa seringkali langkah Gur Dur tidak bisa dipahami warga masyarakat maupun warga NU. Namun, langkah itu punya dasar yang cukup mendalam, khususnya bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Harmoni dan toleransi menjadi bagian penting dalam sikap dan tinakan Gur Dur. Dalam Islam, sikap seperti itu dimiliki oleh sufi.
Gur Dur mengajarkan kepada kita bagaimana silaturrahmi harus tetap dibangun meski dengan orang yang berbeda pandangan atau lawan politik. Silaturrahmi lah yang bisa mencairkan kebekuan dan menjaga harmoni atau keselarasan sosial. Hal yang serupa juga ditunjukkan Gur Dur ketika membela orang-orang yang tertindas dan teraniaya dalam kasus-kasus seperti Ahmadiyah, Inul Daratista, dan lain-lain. Menjaga silaturrahmi dengan mereka justeru akan menunjukkan betapa ajaran Islam itu sangat luhur dan mulia dan tetap membuka kesempatan untuk memahami pendirian mereka.
Seperti diceritakan oleh al-Qusyairi dalam al-Risalah bahwa ”saya mendengar seorang ulama mengabarkan ada seorang Majusi mengundang Ibrahim as makan. Ibrahim menjawab, ’aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat, yaitu engkau memeluk Islam’. Mendengar jawaban Ibrahim, orang Majusi itu lalu pergi. Kemudian Allah swt menurunkan wahyu kepada Ibrahim as, ’selama lima puluh tahun Kami (Allah) telah memberinya makan sekalipun ia kafir’. (Apa salahnya) jika engkau menerima seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti agama!’ Ibrahim kemudian mengejar si Majusi dan meminta maaf keatasnya. Ibrahim menceritakan apa yang telah berlaku, dan orang Majusi itupun masuk Islam.
Kiranya seperti itulah Gus Dur berhungan dan berdialog dengan banyak kalangan selama ini membawa pesan rahmat lil ’aalamiin. Dan begitulah mesej dan sifat sufi.
Gus Dur juga seorang sufi. Dalam banyak kasus, Ia adalah seorang yang pemaaf, meski kepada musuh yang sangat jahat sekalipun. Tuduhan agen zionis, murtad karena membela non-muslim, dan sebagainya tidak ditanggapi dengan hati yang sempit, bahkan tidak menaruh dendam. Gus Dur juga biasa dipuji oleh penyokongnya, tetapi pujian itu tidak membuatnya lupa diri, malah Ia tahu diri. Itulah sifat seorang sufi.
Said Jamhuri dalam disertasi doktornya, Kepemimpinan Nahdlatul Ulama, Studi kasus Abdurrahman Wahid (1999) menyatakan bahwa seringkali langkah Gur Dur tidak bisa dipahami warga masyarakat maupun warga NU. Namun, langkah itu punya dasar yang cukup mendalam, khususnya bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Harmoni dan toleransi menjadi bagian penting dalam sikap dan tinakan Gur Dur. Dalam Islam, sikap seperti itu dimiliki oleh sufi.
Gur Dur mengajarkan kepada kita bagaimana silaturrahmi harus tetap dibangun meski dengan orang yang berbeda pandangan atau lawan politik. Silaturrahmi lah yang bisa mencairkan kebekuan dan menjaga harmoni atau keselarasan sosial. Hal yang serupa juga ditunjukkan Gur Dur ketika membela orang-orang yang tertindas dan teraniaya dalam kasus-kasus seperti Ahmadiyah, Inul Daratista, dan lain-lain. Menjaga silaturrahmi dengan mereka justeru akan menunjukkan betapa ajaran Islam itu sangat luhur dan mulia dan tetap membuka kesempatan untuk memahami pendirian mereka.
Seperti diceritakan oleh al-Qusyairi dalam al-Risalah bahwa ”saya mendengar seorang ulama mengabarkan ada seorang Majusi mengundang Ibrahim as makan. Ibrahim menjawab, ’aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat, yaitu engkau memeluk Islam’. Mendengar jawaban Ibrahim, orang Majusi itu lalu pergi. Kemudian Allah swt menurunkan wahyu kepada Ibrahim as, ’selama lima puluh tahun Kami (Allah) telah memberinya makan sekalipun ia kafir’. (Apa salahnya) jika engkau menerima seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti agama!’ Ibrahim kemudian mengejar si Majusi dan meminta maaf keatasnya. Ibrahim menceritakan apa yang telah berlaku, dan orang Majusi itupun masuk Islam.
Kiranya seperti itulah Gus Dur berhungan dan berdialog dengan banyak kalangan selama ini membawa pesan rahmat lil ’aalamiin. Dan begitulah mesej dan sifat sufi.
Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar pada sahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: tidak mau ruku’ dan sujud dalam salat. Lebih l...agi, Harun al-Rasyid mendengar Abu Nawas berkata bahwa ia khalifah yang suka fitnah! Menurut pembantu-pembantu-nya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar- syariat Islam dan menyebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) dulu pada Abu Nawas.
ReplyDeleteSambungan
ReplyDeleteAbu Nawas pun digeret menghadap Khalifah. Kini, ia menjadi pesakitan. ”Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat?” tanya Khalifah dengan keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, ”Benar, Saudaraku.”
Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, ”Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid, adalah seorang khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, ”Benar, Saudara-ku.”
Khalifah berteriak dengan suara menggelegar, ”Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah!”
Abu Nawas tersenyum seraya berkata-, ”Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap, kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata dengan ketus, ”Apa maksudmu? Ja-ngan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya.”
Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, ”Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam salat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara salat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”
”Bagaimana soal aku yang suka fitnah?” tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyuman, ”Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 Surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka ’fitnah’ (ujian) itu.” Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar.
Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun alRa-syid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan ”ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut de-ngan memutarbalikkan berita.
ReplyDelete****
Kisah yang menimpa Gus Dur mirip cerita Abu Nawas. Tersiar desas-desus, Gus Dur mengatakan Al-Quran adalah kitab suci porno. Menurut kabar angin itu pula, pernyataan Gus Dur tersebut diucapkan sewaktu acara ”Kongkow Bareng Gus Dur” di Kantor Berita -Radio (KBR) 68H, Jakarta, yang mengudara saban Sabtu. Kebetulan saya salah seorang pembawa acara tersebut. Karena tuduhan itu, Gus Dur diteror oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam di Purwakarta (23 Mei 2006).
Seperti nasib Abu Nawas, pernyataan Gus Dur sengaja dipelintir dan dilepaskan dari konteksnya karena ada motif dan untuk- tujuan tertentu. Padahal, dalam acara kongko tersebut, berkali-kali Gus Dur yang selalu ceplas-ceplos dan lucu berkata- bahwa konsepsi porno itu ada dalam otak seseorang. Kita sering bilang, orang itu otaknya lagi ngeres atau lagi ”piktor” (pikir-an kotor). Pernyataan Gus Dur yang lengkap begini, ”Porno itu letaknya ada dalam persepsi seseorang. Kalau orang kepalanya ngeres, dia akan curiga bahwa Al-Quran itu kitab suci porno, karena ada ayat -tentang menyusui (Al-Baqarah: 233). Bagi yang ngeres-, menyusui berarti mengeluarkan dan me-tetek, dan ada juga roman-romanan antara Zulaikha dan Yusuf (QS Yusuf: 24).” Liciknya, mereka, yang pernah juga menyebarkan fitnah bahwa Gus Dur telah dibaptis, menyebarkan -bahwa Gus Dur telah berkata Al-Quran itu kitab suci porno.
Pemenggalan kata-kata tersebut sangatlah berbahaya. Kita bisa mengatakan Alquran mengecam orang yang salat ketika hanya mengutip ayat 4 dalam surat al-Ma’ûn, “maka celakalah orang-orang yang salat!” (fawaylul lil mushallîn). Padahal maksudnya orang yang melaksanakan salat tapi masih celaka adalah orang yang salat tapi lalai: ingin dilihat orang, dan enggan bersedekah—dijelaskan dalam tiga ayat sesudahnya.
Gus Dur memang tidak pernah sepi dari tuduhan. Dulu ia pernah dituduh ingin mengubah assalamualaikum menjadi selamat pagi, siang, sore, dan malam. Seperti Abu Nawas, Gus Dur dituduh ingin mengubah rukun salat, ketika menoleh ke kanan dan ke kiri ketika mengakhiri salat, bukan lagi assalamualaikum yang diucapkan, melainkan selamat pagi untuk salat subuh, selamat siang untuk salat zuhur, dan seterusnya. Padahal Gus Dur mengatakan boleh mengganti assalamualaikum dalam konteks sapaan (greeting), bukan dalam salat.
Untuk itulah, bagi yang masih berakal sehat, akan langsung bertabayun kepada Gus Dur, bukan langsung menuduh, menyebarkan fitnah, apalagi melakukan tindak kekerasan. Bukankah menurut Al-Quran hanya orang fasiklah yang tidak mau bertabayun?
by Mohamad Guntur Romli
Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, terserah jika ada orang yang tidak suka dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis "D...i Sini dikubur Sang Pluralis". Terlepas pesan itu benar diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan.
ReplyDeleteSebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin mengasihinya."Takhalquu bi Akhlaq Allah" (berakhlaklah dengan akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh yang saya tahu, Gus Dur tak banyak bicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi mengamalkan, nnempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan.
Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan menyampaikan ayat al Qur'an ini: "Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa kepada-Ku".
"Li Ta'arafu" (saling mengenal), tidak sekedar tahu nama, alamat rumah, nomor handphone, atau tahu wajah dan tubuh yang lain. Saling mengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih dari segalanya "li ta'arafu" berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain.
Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah. Taqwa bukan sekedar sering datang ke masjid atau ke majlis ta'lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasa saban hari.Tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah, sabar, rendah hati dan sejuta makna kebaikan kepada yang lain dan kepada alam.
ReplyDeleteSemua itulah makna taqwa yang dipahami Gus Dur. Maka Gus Dur bukan sekedar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat baik, melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dan rengkuhan yang hangat. Sebaliknya, ia akan menentang siapa saja yang merendahkan martabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi dan menghalangi hak-hak mereka. la akan membela mereka yang martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti dan ditelantarkan.
Ketika para pengikut Ahmadiah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika Gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak "jangan". Ketika Inul Daratista dihujat ramai-ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya bagai bor, ia "memeluk"nya dengan hangat. Ketika Dorce disoraki karena berganti kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih. "Jika itu adalah dirimu, teruslah bekerja", katanya. Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan (pornografi) hendak diserahkan kepada Negara, ia berdemonstrasi bersama isteri tercintanya; Shinta Nuriah dan bersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan. Ketika orang-orang Thionghoa meminta hari raya Imlek dan Barongsae, ia memberikannya dengan tulus. Meski tak bisa melihat dengan matanya, ia hadir menyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Gus Dur senang.
Seringkali kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itu dilakukannya sendirian. la berjalan sendiri, meski ia harus mempertaruhkan jiwanya. la tak peduli. Dalam perlawanannya terhadap pembredelan tabloid Monitor dan pembelaannya terhadap Salman Rusydi dalam kasus bukunya Satanic Verses, yang bikin heboh itu, misalnya, Gus Dur tak menemukan mata lain yang penuh pengertian. la berjalan sendiri. Seorang sufi mengatakan "ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran yang matang, bantuan eksternal tak lagi diperlukan". Dan Gus Dur sanggup menjalaninya seorang diri dengan tegar, karena ia telah matang.
"La Yakhaf Laumata Laa-im" (ia tak pernah takut pada mata yang membenci). Kata Gus Dur: "Di tempatkan di urutan manapun, Muhammad bin Abdullah tetap saja sang penghulu para nabi dan utusan Tuhan, Insan Kamil".
Bagi Gus Dur semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, ras dan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain. Yang ia lihat adalah niat balk dan perbuatannya, seperti kata Nabi: "Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan amal dan hatimu".
Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak ia setujui atau ada yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus tetap saja nembela mereka. la membela karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya yang berwarna lain, harta mereka dirampas semaunya, ekspresi-ekspresi diri mereka dihentikan secara paksa oleh negara atau direnggut dengan pedang oleh otoritas dominan dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak melakukan apa-apa. Membela kehormatan adalah perjuangan besar.
menyimak semua tulisan kang kholis dan para komentator yang sama bagusnya. :-bd
ReplyDeletewah luar biasa kang.... tapi sayang tidak bisa di copy. hehehehe..lanjutkan
ReplyDeletesalah kamu mengartikan gus dur seperti itu... (sufi)
ReplyDeletesaya setuju itu, termasuk saya adalah penggemar beliau, cuman sayang saya belum pernah bertemu beliau selain di tivi dan di mimpi
ReplyDeletefenomena MANUSIA yg diberi keluarbiasaan oleh ALLOH ketika zaman sdh redup...alhachamdulillaah...MG BISA MENJADI TONGAK ESTAFET PERSATUAN MANUSIA DAN ALAM INDONESIA
ReplyDelete