Kemahakuasaan Allah: an ihtajaba bila hijab 2

Kenikmatan surgawi yang paling tinggi adalah memandang wajah Tuhan. Namun, di alam dunia ini Tuhan telah menghijab zat-Nya (an ihtajaba) dengan sesuatu yang tidak nyata (bi ma la mawjud), yaitu ma siwa Allah, berupa alam ciptaan-Nya. Alam adalah wujud penampakan Nur Tuhan yang juga disebut dengan Nur Muhammad. Seakan-akan wujud alam ini nyata adanya, padahal hakikatnya tidak nyata. Ia hanya bayangan dari Nur Ilahi. Wujudnya ada tetapi semu seperti fatamurgana yang dari kejauhan nampak ada, tetapi apabila dinyatakan tidak pernah ditemukan wujudnya. Itulah wujud alam apabila dibandingkan dengan wujud Tuhan. Jadi, wujud alam ini sebenarnya semu.

Segala sesuatu bila disandingkan dengan Allah akan hilang. Lampu, apabila disandingkan dengan matahari tidak akan nampak keberadaannya. Cahayanya lenyap, hilang diliputi oleh cahaya matahari. Istri kita yang cantik pun apabila disandingkan dengan bidadari akan hilang kecantikannya karena terliputi oleh kecantikan bidadari. Begitu pula wujud makhluk ini, apabila disandingkan dengan wujud Tuhan maka akan lenyap diliputi oleh sifat Jalal dan Jamal Tuhan, sifat Kamal dan Qahhar Tuhan.

Seluruh wujud makhluk disebabkan oleh nur. Wujudnya makhluk ciptaan-Nya tergantung kepada nur. Selama nur Tuhan masih terpancar, selama itu pula makhluk tetap mewujud, walaupun dalam bentuk yang berubah-ubah dari alam dunia ke alam akhirat yang Khalidina fiha abada. Namun sekejap saja nur Allah itu berhenti memancar maka lenyaplah alam ini.

Hadis menyatakan:
"Sesungguhnya Tuhanmu bukanlah Tuhan yang buta. Ia senantiasa melihatmu tiada henti. Hijab-Nya (antara hamba dengan Tuhan) adalah nur. Jika Allah menyingkap nur-Nya, pasti engkau akan terbakar pancaran kesucian wajah-Nya. Sembari wajah-Nya tiada henti-hentiya memandang kepada hamba-Nya dengan pandangan-Nya."

(redaksi hadis di atas boleh dilihat dalam Ibnu Taimiyah, Fath Rabb al-Bariyah bi Talkhis al-Hamawiyah, t.tp., 1380 H., hlm. 58.)

Hadis di atas juga menyiratkan pesan bahwa kita bisa terbakar oleh api kesucian wajah Tuhan apabila hijab Nur-Nya yang berupa dunia mayapada yang semu ini telah disingkirkan dari kita. Terbakar api sakit rasanya, tetapi terbakar api cinta keindahan wajah Tuhan membuatkan diri kita meleleh dan menyerahkan secara bulat-bulat kedalam rengkuhan sang kekasih, yaitu rahman dan rahim Tuhan.

Tapi, mengapa sesuatu yang semu dan sejatinya tidak ada ini malah bisa menghalangi kita untuk melihat surga makrifatullah?... Karena dunia seisinya yang semu itu bisa membuat kita lalai, diri kita terpedaya oleh kemewahan harta, terpesona oleh kecantikan wanita, terlena oleh pangkat dan jabatan. Dan, semua itu menyita perhatian kita hingga melupakan Tuhan yang sesungguhnya Dialah yang kita cari dan kita cita-citakan dalam kehidupan ini. Kita ingin kembali lagi ke tempat semula, yaitu bersemayam di dalam surga, suasana tenteram dalam liputan kasih-sayang-Nya. Kita rindu berada di dalam dekapan-Nya sambil memandangi wajah-Nya yang Maha gagah, jalal, dan jamal. Namun, karena kita lalai, bukannya Tuhan yang kita temukan, tapi malah kita melupakannya. Dunia yang semu berhasil mempedaya kita dan lalai untuk menggapai cinta Tuhan. Alih-alih surga yang kita dapat malah ke dalam neraka kita tercampakkan.

Hijab dunia kadang diperlukan untuk memasuki surga bermakrifat kepada Allah. Tetapi apabila kita telah mengerti siapa diri kita yang sebenar-benarnya dan menyadarinya dengan sepenuh jiwa dan raga, maka hijab justru harus disingkirkan. Orang yang arif tidak perlu lagi menggunakan hijab untuk bermakrifatullah, karena mata hati nuraninya telah bersinar-sinar, gilang-gemilang memantulkan bayang-bayang Tuhan.

Agar bisa bermakrifat kepada Allah, seorang arif billah cukup dengan mengenali jati dirinya yang bersifat nurani, yaitu nyawanya.

Siapa sebenarnya nyawa kita itu? Wa fi anfusikum afala tubsirun (dan dia ada di dalam dirimu, mengapa kamu tidak melihatnya? Nyawa atau ruh adalah hakikat diri kita. Ia berasal dari pancaran Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah perwujudan sifat-sifat Tuhan yang langsung memancar dari Zat-Nya. Adanya sifat melekat pada adanya zat. Tidak ada sifat bila tidak ada zat. Zat menyebabkan adanya sifat. Wujud sifat tertakluk kepada wujud zat, dan hanya wujud zat Allah taala yang nyata dan benar, sedangkan wujud sifat dan apa yang memanifest dari sifat hanyalah bayangan yang wujudnya semu. Untuk menuju sumber bayangan itu jangan terpukau kepada wujud bayangan, tetapi ikutilah sinarnya maka akan sampai kepada sumbernya. Dan ini semua mampu dilakukan oleh basirah kita yang berada di dalam diri. Basirah memiliki daya yang amat kuat mengalahkan basor kita.

Kisah Nabi Musa ketika ingin sekali melihat Tuhannya dengan mata kepala membuatnya tak berdaya. Nabi Musa pingsan apabila Nur Tuhan itu dinampakkan kepada gunung-ganang karena gungung yang begitu besar dan kokoh bila dibandingkan dengan tubuh Musa bisa hancur berkeping-keping dibuatnya. Gunung yang oleh pandangan mata kita nampak kuat dan perkasa, ternyata hanyalah semu. Eksistensinya hancur lebur diliputi keperkasaan-Nya yang nyata. Apalagi tubuh dan mata kepala manusia yang lemah dan semu ini. Sesuatu yang semu tidak akan mampu menangkap wujud yang sesungguhnya (al-Haqq). Al-Haqq dalam wujud-Nya yang sempurna hanya bisa ditangkap oleh unsur yang berasal dari diri-Nya jua, yaitu nur yang berada di dalam diri kita. Tuhan telah melontarkan sebagian daripada Ruh-Nya ke dalam diri kita sebagai jembatan untuk memasuki surga-Nya, medium untuk tetap menjalin hubungan dengan-Nya.

Jadi, untuk memasuki surga, di dunia ini pun kita telah diijinkan oleh Tuhan, malah diperintahkan. Caranya bagaimana? Yaitu, mendekatinya lalu membuka pintu-pintunya dengan menggunakan kunci surga. Miftah al-Jannah La Ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah, kunci surga adalah "La Ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah", yaitu kesadaran dalam jiwa dan raga tentang wujud Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai sang utusan. Untuk memperoleh kunci surga yang asli, yang kuat dan tidak mudah patah, kita perlu belajar tentang ilmu tauhid kepada ahlinya. Terjun ke dalam lautan makrifat bersama-sama dengan orang yang arif billah. Sekedar pengantar bolehlah anda baca beberapa pengantar di blog ini.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)