Iktikaf di Masjid

Sebelum usia 40 tahun, Nabi Muhammad saw. sering ber-’uzlah ke goa pada setiap bulan Ramadhan, berhari-hari lamanya tidak pulang ke rumah. Hampir seluruh waktunya dipakai untuk ber-tahannus, “tafakkur, meditasi” dan berzikir dalam kesunyian alam (uzlah). Setelah diangkat menjadi Rasul pun beliau masih tetap meneruskan kegiatan uzlahnya. Kali ini tidak lagi di goa, tapi di masjid yang dikenal dengan iktikaf.



Pada sepuluh hari menjelang berakhirnya bulan suci Ramadhan, iaitu setiap memasuki tarikh 20 Ramadhan, Rasulullah selalu melaksanakan iktikaf di masjid. Hal ini diceritakan oleh isterinya tercinta Aisyah, bahwa “Rasulullah melakukan iktikaf sesudah tarikh 20 Ramadhan sehingga beliau wafat” (HR Bukhari Muslim)

Iktikaf adalah aktifiti ibadah yang dilakukan Rasulullah dengan berdiam diri di masjid, dengan berniat mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang yang ingin melakukan iktikaf di masjid harus meninggalkan kesibukan dan rutinitas sehari-hari dengan memusatkan diri hanya mengingat atau menyebut asma Allah, zikir kpd Allah, membaca dan merenungkan kandungan al-Qur’an, mendirikan solat wajib dan sunnah, seperti tarawih, tahajud, hajat, witir, dhuha, dll.

Semua bentuk ibadah dalam iktikaf diarahkan untuk berzikir, mengingat kebesaran dan kemahakuasaan Allah yang rahman dan rahim. Semakin banyak melakukan aktifiti zikir dengan menyebut kalimah tayyibah, semakin banyak potensi kebaikan yang tertuang ke dalam sanubari, maka semakin memperbesar peluang untuk memperoleh anugerah daripada Allah. Anugerah Allah boleh berupa pahala, malam seribu bulan (laylatul qadar), mahupun yang lainnya.

Ketika beriktikaf, selain menahan diri dari makan dan minum, mulut juga harus mampu menahan diri dari pembicaraan. Menahan bicara bukan sekadar meninggalkan pembicaraan yang kotor atau menggunjing orang lain sahaja, tapi setelah meninggalkan pembicaraan tersebut mesti tidak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Pembicaraan yang tidak bermanfaat ialah yang tidak membawa kita dekat kepada Allah. Ini penting karena bila mulut banyak bicara, hati takkan mampu mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang. Suara mulut terlalu riuh, bising, sehingga isyarat-isyarat dari alam malakut (alam ruh) tak terdengar oleh batin kita. Iktikaf adalah diam dalam zikir.

Ketika beriktikaf di masjid, kita hanya diperkenankan berbicara seperlunya sahaja. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahawa Safiyah, salah seorang ummu al-mukminin, berkata, bahawa “ketika Rasulullah sedang beriktikaf di masjid, aku datang mengunjungi beliau lalu berbicara dengan beliau seperlunya sahaja. Dan ketika aku memohon diri untuk pulang ke rumah, beliau berdiri dari duduknya untuk melepas kepergianku”.

Iktikaf dianjurkan bagi kaum muslimin. Uswah iktikaf yang dicontohkan oleh Nabi semoga menjadi rujukan kita kaum muslimin pada masa sekarang ini, ketika kita harus keluar dari pelbagai kesukaran hidup yang penuh bebanan. Iktikaf yang mengajarkan hati kita lebih mencintai Allah, sesungghnya dapat menjadi salah satu cara mengurangkan beban kehidupan yang berat.

Dengan iktikaf, kita mendapatkan kesabaran dan ketenangan hati, dan kerana itu, kita semakin berkeyakinan bahwa Allah-lah penolong bagi hamba-hamba yang sedang dirundung berbagai kesukaran hidup.

Seseorang yang beriktikaf memiliki kekuatan, cinta, keyakinan, dan usaha yang kuat untuk mengalahkan semua ketakutan, kecemasan, dan harapan yang menghantui kita dalam kehidupan ini. Sebab, iktikaf mengajar kita untuk selalu ingat dan cintakan Allah.

Menurut Syah Waliyullah, iktikaf di masjid merupakan salah satu cara terbaik untuk meraih ketenangan fikiran dan kesucian hati. Iktikaf membuka peluang emas bagi menempa diri sendiri menjadi insane kamil dan insane taqwa, seperti yang diharapkan orang-orang mukmin berpuasa bulan Ramadhan. Perkara ini dapat difahami, memandangkan ibn Abbas meriwayatkan, “orang yang melalukan iktikaf di masjid bebas daripada dosa, dan dia akan diberi pahala yang sama dengan mereka yang melakukan kebaikan sebagai hasil iktikaf di dalam masjid”

Allahumma la’allakum tattaquun

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)