MENGENAL ALLAH
Di dalam kitab Mafatih al-Jinan, Syaikh Abbas al-Qummi menulis sebuah ungkapan doa yang kuranglebih artinya begini:
“Ya Allah, perkenalkanlah daku kepada Diri-Mu, karena bila Engkau tidak memperkenalkanku kepada Diri-Mu, maka bagaimana daku bisa mengenal utusan-Mu. Ya Allah perkenalkanlah daku kepada utusan-Mu agar daku bisa mengenal hujjah-Mu. Ya Allah, perkenalkanlah daku kepada hujjah-Mu agar aku dapat mengenal petunjuk agama-Mu.”
Pengenalan kepada Tuhan adalah langkah pertama dan utama dilakukan oleh hamba agar dapat beragama secara benar. Dalam ungkapan doa di atas, setelah memanjatkan permemohon agar dapat mengenal Tuhan, maka pada tahap seterusnya seorang hamba memanjatkan permohonan mengenal utusan (rasul), mengenal hujjah, dan baru mengenal agama kemudian. Hal ini sejalan dengan ungkapan “awaluddin makrifatullah” awal agama ialah mengenal Allah. Mengenal Allah dalam bahasa agama diistilahkan dengan ma’rifah.
Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengenalan. Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalbu). Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi di dalam kitab al-Luma’ mengatakan bahwa ma’rifah itu merupakan pengenalan hati terdapat objek-objek yang menjadi sasarannya. Sedangkan objek pengetahuan itu menurut al-Gazali adalah Zat dan Sifat Allah. Dalam hal ini al-Ghazali menambahkan, ma’rifah berarti pengetahuan akan Zat dan Sifat Allah dengan tidak ada keraguan di dalamnya. Sebagai pengetahuan yang tidak ada keraguan disebut pula oleh al-Gazaliy sebagai ilmu yang meyakinkan, yaitu ilmu di mana yang menjadi objek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah atau keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu. Dengan demikian, ma’rifah adalah pengetahuan yang benar yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin).
Untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan, pertama-tama kata al-Gazali, haruslah diketahui arti pengetahuan atau ilmu yang benar dan meyakinkan itu. Dalam kitab al-Munqiz, al-Gazali mengatakan: “al-’Ilm al-Yaqini (ilmu yang meyakinkan), ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tidak mungkin salah atau keliru, tidak ada di hati tempat untuk itu.” Sebagai contoh, kata al-Gazali: “Jika kuketahui bahwa sepuluh lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubahnya menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal ini sama sekali tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku.
Ma’rifah pula berarti mengetahui Tuhan yang Ghaib dari dekat. Tuhan Maha Ghaib, Tuhan bukanlah materi. Oleh karena itu, ma’rifah sebagai pengetahuan yang hakiki tidak didapat dari pengalaman inderawi, juga tidak dicapai melalui penalaran rasional, karena sesuatu yang bukan materi (immateri) tidak bisa diungkap dengan perangkat inderawi. Kekuatan mata tidak mampu menangkap wujud Tuhan. Untuk mengetahui Tuhan yang immateri diperlukan perangkat yang bersifat immateri juga, yaitu daya mata hati atau bashirah yang dimiliki oleh qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan.
Sufi mengatakan:
a) Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
b) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin itu, yang akan dilihatnya hanya Allah.
c) Yang dilihat orang ‘arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah.
d) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya; dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Al-Junaid ketika ditanya tentang arti ma’rifah mengatakan: “Ma’rifah adalah hadirnya hati di antara pernyataan kebesaran Tuhan yang tak bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya yang tak bisa diutarakan.” Pada saat yang lain, ketika diajukan persoalan yang sama, beliau mengatakan: “Ma’rifah berarti mengetahui bahwa apa pun yang engkau bayangkan dalam hatimu, Tuhan merupakan kebalikannya.”
Menurut Ibn Ataillah, ma’rifah adalah melihat Allah dengan pandangan mata hati, dengan pandangan batin, bukan dengan padangan mata kepala. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw pernah bersabda: “Hai Abu Zar, sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.”
Zu al-Nun Al Misri berkata, “Sesungguhnya ma’rifah orang yang ‘arif akan terus menerus bertambah, dengan bertambah ma’rifah-nya maka bertambah pula kedekatannya kepada Allah”. Kemudian Zu al-Nun ditanya dengan apa orang mengenal Tuhannya. Beliau menjawab, “Kukenal Tuhanku dengan (ni’mat) Tuhanku, kalaulah tidak (tidak dengan ni’mat Tuhanku), niscaya aku tidak mengenal Tuhanku”.
Ibnu Athillah juga berbicara tentang arti ma’rifah. Beliau mengatakan, “ma’rifah ialah pengenalan terhadap sesuatu, baik zat maupun sifatnya yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Mengenal Allah adalah merupakan ilmu pengetahuan yang terpenting, karena Allah tidak ada bandinganya, kendatipun demikian Allah mewajibkan kepada setiap makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, baik jin, manusia, malaikat, dan setan untuk mengenal zat, asma serta sifat-sifat Allah, bahkan diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya sesuai dengan keadaan makhluk itu sendiri”.
Ibnu Athaillah membagi ma’rifah menjadi dua macam. Beliau berkata, “Dan ia (ma’rifah) terbagi menjadi dua macam:
Pertama, ma’rifah yang umum, yaitu pengenalan yang diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya, yaitu mengenal Zat-Nya, kemudian memuji dengan pujian yang sesuai dengan keadaan setiap makhluk masing-masing, serta memberikan sifat kepada Tuhannya, menurut yang telah ditetapkan Allah sendiri.
Kedua, ma’rifah yang khusus, yaitu pengenalan yang lahir dari musyahadah, maka seorang yang arif ialah orang yang telah mengenal zat, sifat, asma dan af’al Allah dengan perantaraan musyahadah-nya. Sedangkan orang yang ‘alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadah, bahkan hanya melalui kepercayaan biasa saja. Karena itu ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ma’rifah ialah semacam ilmu pengetahuan yang didapat dari kesungguhan seseorang dalam ibadahnya”. Dalam hal ini Imam Ghazali pernah berkata, “Seseorang dapat saja mengenal Tuhannya melalui inderanya, namun pengenalan yang tertinggi ialah pengenaln dengan kurnia Tuhan sendiri.” Karena itu, seseorang tidak akan sampai ke tingkat ma’rifah yang sebenarnya kecuali dikehendaki oleh Allah, seperti para nabi dan orang yang siddiq.
Nabi Muhammad sendiri pernah bersabda, “Aku tidak dapat menilai pujianku terhadap-Mu, sebagaimana yang kau puji terhadap Zat-Mu”. Menurut Imam Ghazali ma’rifah yang khusus ini ialah keinginan untuk mengenal Zat Allah, sifat Allah dan menolak segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah. Ma’rifah yang demikian itu adalah wajib bagi setiap insan, sesuai dengan ajaran Alqur’an, Sunnah dan Ijma ulama.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang wajibnya ma’rifah, hanya terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya. Imam Ghazali berkata, “Ma’rifah itu terbagi kepada dua macam; ma’rifatuz zat dan ma’rifatus sifat”.
Yang dimaksudkan dengan ma’rifatuz zat ialah pengetahuan seseorang terhadap Allah, bahwa Allah ada, Maha Esa, tidak berbilang, Ia adalah zat yang Maha Agung, yang ada dengan sendirinya dan tidak ada yang lain yang mirip dengan-Nya.
Sedangkan ma’rifatus sifat ialah pengetahuan bahwa Allah Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan seterusnya tentang sifat-sifat kesempurnaanya. Adapun tanda orang yang betul-betul mengenal Allah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ghazali ialah “hatinya selalu ingat dan memandang (musyahadah) kepada Allah. Karenanya Allah melimpahkan karunia-Nya kepadanya sehingga dengan karunia itulah seseorang kenal dan mengenal Zat Tuhannya. Dengan karunia itu Allah menyingkapkan sebagian hijab yang melindungi sehingga hambanya-Nya kenal kepada sifat dan Zat-Nya, dan tidaklah seluruh hijab itu disingkapkan, tapi hanya sebagiannya saja.”
Abu Ali Daqaq berkata, “Sebagai tanda ma’rifah Allah ialah timbul rasa takut yang mendalam kepada Allah, siapa yang bertambah ma’rifat-nya bertambah juga takutnya kepada Allah”.
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Apakah kau menyembah sesuatu yang kau lihat atau yang kau tidak melihatnya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah yang kulihat, namun bukan dengan penglihatan mata, tetapi dengan penglihatan hati”.
Ja’far Sadiq pernah ditanya apakah ia melihat Tuhannya? Beliau menjawab: “Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak kulihat.” Orang bertanya, “Bagaimana kau dapat melihatnya sedang Tuhan tidak dapat dilihat?” Beliau menjawab, “Memang tidak dapat dilihat dengan mata kepala, namun dapat dilihat dengan mata hati dan dengan mata hakekat iman”.
Sebagian orang shufi berkata, “Hakikat ma’rifah ialah musyahadah Allah, tanpa perantara, tidak melalui keadaan dan tidak pula melalui perbandingan”. Dan sebagian yang lain lagi berkata: ma’rifah yang sebenarnya ialah kosong jiwa dari segala keinginan, meninggalkan apa yang menjadi adat kebiasaannya, hati tenteram, menyerahkan segala urusan kepada Allah dan tidak berpaling kepada yang lainnya. Namun pengenalan manusia tidaklah sampai ke tingkat hakekat zat, dan tidak ada yang mengenal bagaimana sebenarnya hakekat zat Allah. hanya Allah sendiri yang tahu.
Abu Bakar Razi menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umar Al Antaki bercerita, seorang laki-laki pernah datang bertanya kepada Junaid, katanya ada sebagian orang yang mengaku dirinya ahli ma’rifah, namun mereka telah meninggalkan syariat agama, mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang akan mendatangkan kebajikan dan takwa (ibadah). Junaid menjawab: pendapat yang mengatakan dengan meninggalkan amal-amal syariat sebagai tanda ahli ma’rifah, bagiku lebih baik orang yang mencuri dan berbuat zina, dari orang yang mengakui ahli ma’rifah tadi, karena orang yang kenal (ma’rifah) kepada Allah, mereka mengambil amal ibadah itu dari Allah, dan mereka kerjakan untuk Allah, mereka kembalikan semua itu kepada Allah. Kendatipun umur mereka sampai seribu tahun, tidaklah mereka mengurangi kewajiban mereka terhadap Allah, sekalipun hanya sedetik”.
Bagi sufi, ma’rifah ialah suatu sifat bagi orang yang telah mengenal asma dan sifat Allah dan sebagai bukti pengenalannya adalah kedudukannya yang dekat kepada Allah, meninggalkan sifat-sifat yang tercela, selalu ingat kepada Allah, sehingga Allah mencintainya dan memberikan karunia kepadanya berupa kondisi mental yang tangguh, sehingga dengan mental yang demikian itu ia tidak dapat dipalingkan oleh apapun ke arah yang tidak diridhai Allah. Kondisi mental yang tangguh juga membuatkan seseorang menjadi asing di dalam hidupnya, karena terhindar dari pelbagai perbuatan yang biasannya diperbuat orang yang lahir dari dorongan mental yang lemah. Dengan mental yang tangguh semua perbuatan dan tindak-tanduknya menjadi bersih. Pada setiap saat, hubungannya dengan Allah berlaku tetap dan tidak pernah terputus sehingga Allah memberikan karunian-Nya yang lain lagi, yaitu pengetahuan terhadap segala yang gaib. Orang yang memiliki sikap mental seperti itu dinamakan ‘arif.
Pengenalan kepada Tuhan adalah langkah pertama dan utama dilakukan oleh hamba agar dapat beragama secara benar. Dalam ungkapan doa di atas, setelah memanjatkan permemohon agar dapat mengenal Tuhan, maka pada tahap seterusnya seorang hamba memanjatkan permohonan mengenal utusan (rasul), mengenal hujjah, dan baru mengenal agama kemudian. Hal ini sejalan dengan ungkapan “awaluddin makrifatullah” awal agama ialah mengenal Allah. Mengenal Allah dalam bahasa agama diistilahkan dengan ma’rifah.
Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengenalan. Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalbu). Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi di dalam kitab al-Luma’ mengatakan bahwa ma’rifah itu merupakan pengenalan hati terdapat objek-objek yang menjadi sasarannya. Sedangkan objek pengetahuan itu menurut al-Gazali adalah Zat dan Sifat Allah. Dalam hal ini al-Ghazali menambahkan, ma’rifah berarti pengetahuan akan Zat dan Sifat Allah dengan tidak ada keraguan di dalamnya. Sebagai pengetahuan yang tidak ada keraguan disebut pula oleh al-Gazaliy sebagai ilmu yang meyakinkan, yaitu ilmu di mana yang menjadi objek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah atau keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu. Dengan demikian, ma’rifah adalah pengetahuan yang benar yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin).
Untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan, pertama-tama kata al-Gazali, haruslah diketahui arti pengetahuan atau ilmu yang benar dan meyakinkan itu. Dalam kitab al-Munqiz, al-Gazali mengatakan: “al-’Ilm al-Yaqini (ilmu yang meyakinkan), ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tidak mungkin salah atau keliru, tidak ada di hati tempat untuk itu.” Sebagai contoh, kata al-Gazali: “Jika kuketahui bahwa sepuluh lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubahnya menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal ini sama sekali tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku.
Ma’rifah pula berarti mengetahui Tuhan yang Ghaib dari dekat. Tuhan Maha Ghaib, Tuhan bukanlah materi. Oleh karena itu, ma’rifah sebagai pengetahuan yang hakiki tidak didapat dari pengalaman inderawi, juga tidak dicapai melalui penalaran rasional, karena sesuatu yang bukan materi (immateri) tidak bisa diungkap dengan perangkat inderawi. Kekuatan mata tidak mampu menangkap wujud Tuhan. Untuk mengetahui Tuhan yang immateri diperlukan perangkat yang bersifat immateri juga, yaitu daya mata hati atau bashirah yang dimiliki oleh qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan.
Sufi mengatakan:
a) Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
b) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin itu, yang akan dilihatnya hanya Allah.
c) Yang dilihat orang ‘arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah.
d) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya; dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Al-Junaid ketika ditanya tentang arti ma’rifah mengatakan: “Ma’rifah adalah hadirnya hati di antara pernyataan kebesaran Tuhan yang tak bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya yang tak bisa diutarakan.” Pada saat yang lain, ketika diajukan persoalan yang sama, beliau mengatakan: “Ma’rifah berarti mengetahui bahwa apa pun yang engkau bayangkan dalam hatimu, Tuhan merupakan kebalikannya.”
Menurut Ibn Ataillah, ma’rifah adalah melihat Allah dengan pandangan mata hati, dengan pandangan batin, bukan dengan padangan mata kepala. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw pernah bersabda: “Hai Abu Zar, sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.”
Zu al-Nun Al Misri berkata, “Sesungguhnya ma’rifah orang yang ‘arif akan terus menerus bertambah, dengan bertambah ma’rifah-nya maka bertambah pula kedekatannya kepada Allah”. Kemudian Zu al-Nun ditanya dengan apa orang mengenal Tuhannya. Beliau menjawab, “Kukenal Tuhanku dengan (ni’mat) Tuhanku, kalaulah tidak (tidak dengan ni’mat Tuhanku), niscaya aku tidak mengenal Tuhanku”.
Ibnu Athillah juga berbicara tentang arti ma’rifah. Beliau mengatakan, “ma’rifah ialah pengenalan terhadap sesuatu, baik zat maupun sifatnya yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Mengenal Allah adalah merupakan ilmu pengetahuan yang terpenting, karena Allah tidak ada bandinganya, kendatipun demikian Allah mewajibkan kepada setiap makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, baik jin, manusia, malaikat, dan setan untuk mengenal zat, asma serta sifat-sifat Allah, bahkan diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya sesuai dengan keadaan makhluk itu sendiri”.
Ibnu Athaillah membagi ma’rifah menjadi dua macam. Beliau berkata, “Dan ia (ma’rifah) terbagi menjadi dua macam:
Pertama, ma’rifah yang umum, yaitu pengenalan yang diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya, yaitu mengenal Zat-Nya, kemudian memuji dengan pujian yang sesuai dengan keadaan setiap makhluk masing-masing, serta memberikan sifat kepada Tuhannya, menurut yang telah ditetapkan Allah sendiri.
Kedua, ma’rifah yang khusus, yaitu pengenalan yang lahir dari musyahadah, maka seorang yang arif ialah orang yang telah mengenal zat, sifat, asma dan af’al Allah dengan perantaraan musyahadah-nya. Sedangkan orang yang ‘alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadah, bahkan hanya melalui kepercayaan biasa saja. Karena itu ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ma’rifah ialah semacam ilmu pengetahuan yang didapat dari kesungguhan seseorang dalam ibadahnya”. Dalam hal ini Imam Ghazali pernah berkata, “Seseorang dapat saja mengenal Tuhannya melalui inderanya, namun pengenalan yang tertinggi ialah pengenaln dengan kurnia Tuhan sendiri.” Karena itu, seseorang tidak akan sampai ke tingkat ma’rifah yang sebenarnya kecuali dikehendaki oleh Allah, seperti para nabi dan orang yang siddiq.
Nabi Muhammad sendiri pernah bersabda, “Aku tidak dapat menilai pujianku terhadap-Mu, sebagaimana yang kau puji terhadap Zat-Mu”. Menurut Imam Ghazali ma’rifah yang khusus ini ialah keinginan untuk mengenal Zat Allah, sifat Allah dan menolak segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah. Ma’rifah yang demikian itu adalah wajib bagi setiap insan, sesuai dengan ajaran Alqur’an, Sunnah dan Ijma ulama.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang wajibnya ma’rifah, hanya terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya. Imam Ghazali berkata, “Ma’rifah itu terbagi kepada dua macam; ma’rifatuz zat dan ma’rifatus sifat”.
Yang dimaksudkan dengan ma’rifatuz zat ialah pengetahuan seseorang terhadap Allah, bahwa Allah ada, Maha Esa, tidak berbilang, Ia adalah zat yang Maha Agung, yang ada dengan sendirinya dan tidak ada yang lain yang mirip dengan-Nya.
Sedangkan ma’rifatus sifat ialah pengetahuan bahwa Allah Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan seterusnya tentang sifat-sifat kesempurnaanya. Adapun tanda orang yang betul-betul mengenal Allah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ghazali ialah “hatinya selalu ingat dan memandang (musyahadah) kepada Allah. Karenanya Allah melimpahkan karunia-Nya kepadanya sehingga dengan karunia itulah seseorang kenal dan mengenal Zat Tuhannya. Dengan karunia itu Allah menyingkapkan sebagian hijab yang melindungi sehingga hambanya-Nya kenal kepada sifat dan Zat-Nya, dan tidaklah seluruh hijab itu disingkapkan, tapi hanya sebagiannya saja.”
Abu Ali Daqaq berkata, “Sebagai tanda ma’rifah Allah ialah timbul rasa takut yang mendalam kepada Allah, siapa yang bertambah ma’rifat-nya bertambah juga takutnya kepada Allah”.
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Apakah kau menyembah sesuatu yang kau lihat atau yang kau tidak melihatnya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah yang kulihat, namun bukan dengan penglihatan mata, tetapi dengan penglihatan hati”.
Ja’far Sadiq pernah ditanya apakah ia melihat Tuhannya? Beliau menjawab: “Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak kulihat.” Orang bertanya, “Bagaimana kau dapat melihatnya sedang Tuhan tidak dapat dilihat?” Beliau menjawab, “Memang tidak dapat dilihat dengan mata kepala, namun dapat dilihat dengan mata hati dan dengan mata hakekat iman”.
Sebagian orang shufi berkata, “Hakikat ma’rifah ialah musyahadah Allah, tanpa perantara, tidak melalui keadaan dan tidak pula melalui perbandingan”. Dan sebagian yang lain lagi berkata: ma’rifah yang sebenarnya ialah kosong jiwa dari segala keinginan, meninggalkan apa yang menjadi adat kebiasaannya, hati tenteram, menyerahkan segala urusan kepada Allah dan tidak berpaling kepada yang lainnya. Namun pengenalan manusia tidaklah sampai ke tingkat hakekat zat, dan tidak ada yang mengenal bagaimana sebenarnya hakekat zat Allah. hanya Allah sendiri yang tahu.
Abu Bakar Razi menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umar Al Antaki bercerita, seorang laki-laki pernah datang bertanya kepada Junaid, katanya ada sebagian orang yang mengaku dirinya ahli ma’rifah, namun mereka telah meninggalkan syariat agama, mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang akan mendatangkan kebajikan dan takwa (ibadah). Junaid menjawab: pendapat yang mengatakan dengan meninggalkan amal-amal syariat sebagai tanda ahli ma’rifah, bagiku lebih baik orang yang mencuri dan berbuat zina, dari orang yang mengakui ahli ma’rifah tadi, karena orang yang kenal (ma’rifah) kepada Allah, mereka mengambil amal ibadah itu dari Allah, dan mereka kerjakan untuk Allah, mereka kembalikan semua itu kepada Allah. Kendatipun umur mereka sampai seribu tahun, tidaklah mereka mengurangi kewajiban mereka terhadap Allah, sekalipun hanya sedetik”.
Bagi sufi, ma’rifah ialah suatu sifat bagi orang yang telah mengenal asma dan sifat Allah dan sebagai bukti pengenalannya adalah kedudukannya yang dekat kepada Allah, meninggalkan sifat-sifat yang tercela, selalu ingat kepada Allah, sehingga Allah mencintainya dan memberikan karunia kepadanya berupa kondisi mental yang tangguh, sehingga dengan mental yang demikian itu ia tidak dapat dipalingkan oleh apapun ke arah yang tidak diridhai Allah. Kondisi mental yang tangguh juga membuatkan seseorang menjadi asing di dalam hidupnya, karena terhindar dari pelbagai perbuatan yang biasannya diperbuat orang yang lahir dari dorongan mental yang lemah. Dengan mental yang tangguh semua perbuatan dan tindak-tanduknya menjadi bersih. Pada setiap saat, hubungannya dengan Allah berlaku tetap dan tidak pernah terputus sehingga Allah memberikan karunian-Nya yang lain lagi, yaitu pengetahuan terhadap segala yang gaib. Orang yang memiliki sikap mental seperti itu dinamakan ‘arif.
mohon copy semoga allah sefaat sebaik naiknya.
ReplyDelete