Aktualisasi Diri dalam Tasawuf


Para intelektual muslim umumnya sepakat, bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai dimensi ganda (doble dimension) yakni dimensi ruhani dan jasmani, yang lahir dalam keadaan fitrhar. Fithrah maksudnya bukan sekedar bersih dari noda, namun dilengkapi dengan seperangkat potensi kodrati yang bersifat spiritual. Dengan potensi inilah manusia diberi kepercayaan untuk menjadi khalifah fil ardl yang memerankan fungsi-fungsi ketuhanan di muka bumi ini.



Jika manusia di dalam dirinya telah terkandung potensi kebaikan, keluhuran atau kesempurnaan sebagai bekal khalifah di bumi, lalu bagaimana potensi tersebut dapat dikembangkan dan diaktualisasikan? Banyak teori yang berbicara mengenai hal ini, baik dalam wacana tasawuf maupun psikologi.

Salah satu di antaranya adalah buku yang ditulis oleh Hasyim Muhammad. Tulisan ini merupakan sebuah karya yang mencoba melakukan terobosan baru dengan mengkombinasikan jawaban antara tasawuf dan psikologi secara bersamaan. Menurutnya, selama ini discourse antara tasawuf dan psikologi masih berjalan sendiri-sendiri (linear)—untuk tidak mengatakan ada dikotomi—atau wilayah sendiri-sendiri antar keduanya. Tasawuf didekati dengan pendekatan spiritual, sedangkan psikologi dianggap sebagai entitas dari representasi keilmuwan (disconected) dengan taswuf. Pandangan yang cenderung mempertentangkan ini oleh Hasyim coba diminimalisir dengan mendialogkan antar keduanya.

Dalam pandangan tasawuf, jika manusia ingin meraih derajat kesempurnaan (al-insan al-kamil) atau dalam ungkapan lain disebut ma’rifat (pengetahuan ketuhanan) di mana dimensi ketuhanan (uluhiyyah) teraktualisasikan secara penuh, manusia harus melalui proses latihan spiritual yang disebut takhalli/zero mind process (mengosongkan diri dari segala keburukan atau kejahatan), tahalli/character building (menghiasi diri dengan perilaku baik), dan tajalli/God spot (kondisi di mana kualitas ilahiyyah teraktualisasikan atau termanifestasikan). Konsep ini sejalan dengan firman Allah yang menyatakan: “Maka Aku ilhamkan (dalam diri manusia) potensi kejahatannya dan kebaikannya. Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikannya” (al-Syams: 8—10).

Dengan kata lain, jika manusia menginginkan aktualisasi diri, maka ia harus senantiasa memilih potensi kebaikan yang ada dalam dirinya dan menghindarkan diri sejauh mungkin dari potensi kejahatan. Jika pilihan-pilihan baik ini dapat secara konsisten dilakukan, ia akan semakin mendekati derajat kesempurnaan. Begitu pula sebaliknya jika ia selalu memilih kejahatan, ia akan semakin jauh dari kesempurnaan.
Peristiwa dalam bingkai (frame) tasawuf di atas, sesungguhnya tidak jauh dari pandangan psikologi yang juga mengungkapkan konsep yang kurang lebih sama. Kecenderungan untuk meraih kesempurnaan atau aktualisasi diri disebut oleh Maslow—salah seorang tokoh psikologi humanistik—sebagai motivasi pertumbuhan (growt motivation), di mana manusia secara konsisten menentukan pilihan baik (progression chois). Sementara kecenderungan untuk menentukan pilihan buruk disebut motivasi kemunduran (deficiency motivation), di mana seseorang senantiasa menentukan pilihan mundur (regression chois) yang berarti semakin menjauhkannya dari aktualisasi diri (self actualization).

Alport menyebut proses aktualisasi diri (self actualization) sebagai proses menjadi (becoming). Menurutnya, hidup merupakan proses aktif, di mana manusia berupaya mewujudkan diri. Kepribadian adalah tetap namun terus menerus berubah, sebagai konsekuensi dari turunan biologis, pengaruh budaya, dan pencarian spiritual.  Pencapaian derajat spiritualitas manusia sangat bergantung pada upaya manusia mempertahankan identitas (keluhuran dan kesempurnaan) yang dimiliki dengan mengarah pada tujuan jangka panjang secara konsisten.

Para psikolog humanistik pada umumnya sepakat, bahwa manusia dalam meraih keluhuran pribadinya sangat dipengaruhi oleh motivasi dan faktor-faktor eksternal yang melingkupinya, termasuk agama. Sebagai makhluk yang memiliki potensi kebaikan, ia harus mampu mengalahkan kekuatan-kekuatan itu dan menolak segala tekanan budaya yang mempengaruhinya. Ia harus mampu menyadap sumber kekuatan pribadi, dan berusaha mengaturnya sesuai dengan prinsip kebaikan yang dipilihnya.

Sebagaimana diuraikan di atas, dimensi ketuhanan (ruh al-Ilahiyyah) adalah merupakan sumber kekuatan pribadi manusia. Jika seseorang konsisten untuk mengaktualisasikan asma Allah, atau dengan kata lain takhalluq bi asma Allah (mengambil nama-nama Allah sebagai sumber inspirasi segala perilakunya), ia akan meraih kesempurnaan yang didambakan. Takhalluq menurut Ibn Arabi adalah jalan spiritual menuju Allah yang melahirkan akhlak mulia sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan takhalluq berarti mengukuhkan pandangannya, bahwa tidak ada suatu realitas pun yang wujud kecuali Allah, nama-nama-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Dalam tradisi tasawuf banyak teori yang menyebut karakter-karakter keluhuran yang seharusnya dimiliki oleh manusia. Karakter-karakter tersebut tergambar dalam konsep-konsep sufistik seperti, maqamat (station), Awhal (states), ittihad (unity), wahdat al-wujud (kesatuan wujud), (kesatuan agama), dan lain-lain.

Dalam konsep maqamat misalnya, terdapat banyak karakter keluhuran yang dijadikan syarat bagi seseorang yang menapaki pendakian spiritual. Karakter-karakter tersebut antara lain, taubah, sabr, wara, tawakal, dan ridla. Taubah berarti semangat untuk melakukan perubahan menuju yang lebih baik, dan meninggalkan perilaku kejahatan yang telah dilakukan. Shabr memiliki makna semangat tinggi dengan penuh ketegaran untuk menghadapi segala rintangan yang menghadang. Wara’, menghindari perilaku atau tindakan yang tidak berguna. Zuhud, bermakna independensi diri untuk tidak terbelenggu dari gemerlapnya duniawi. Tawakkal, yakni sikap berani menghadapi resiko yang ditimbulkan oleh perilaku yang diputuskannya. Sedangkan Ridla berarti kerelaan diri untuk menerima hasil apapin yang diperoleh dari usaha yang telah dilakukan secara maksimal, dengan penuh suka cita. Konsep-konsep tasawuf falsafi seperti ittihad, wahdatul wujud, wahdat al-syuhud, tajali dalam konteks perilaku (takhalluq), mengimplikasikan sikap kesempurnaan, perasaan menyatu dengan alam, kesetaraan, keadilan, keindahan, keutuhan, keserasian, kesederhanaan, dan sifat-sifat kebaikan lainnya.

Karakter-karakter ini jika kita lihat secara detail, akan dapat dipahami dengan mengkaji secara mendalam teori-teori tentang aktualisasi diri yang banyak dikemukakan dalam psikologi. Sebagai perbandingan dapat dilihat dalam teori aktualisasi diri (self-actualization) yang dikemukakan Abraham Harold maslow. Menurutnya, aktualisasi diri terjadi karena dorongan motif perkembangan (growt motivation). Motif ini diistilahkan oleh Maslow dengan metomotivation atau B-Values. Adapun motif perkembangan (growth motivation) terjadi jika seseorang sudah tidak lagi didominasi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need) atau motif rendah (deficiency needs).

Motif-motif perkembangan tersebut antara lain adalah perasaan menyatu (integreted) dengan dirinya sendiri, dengan alam, dan dengan Tuhan (bagi yang beragama). Berfungsi secara penuh (fully fungtioning), kebersahajaan, kesederhanaan, rasa cukup, penuh makna, keadilan, kesetaraan, penerimaan terhadap diri sendiri dan kodrat, dapat melihat realitas secara tepat dan efisien, spontanitas, kewajaran dan kesederhanaan, otonom, kesegaran dan apresiasi yang berkelanjutan, pengalaman puncak (peak experience), demokratis, dan lain-lain.

Ilustrasi-ilustrasi mengenai karakter-karakter aktualisasi diri (self actualization) tersebut dapat ditemukan dalam karya-karya Maslow, seperti, toward a Psycology of Being (1968), The Farther Reaches of Human Values, and Peak-experience (1964) dan juga dalam karya-karya para tokoh psikologi pada umumnya.

Dari penjelasan di atas, kalau dikaji lebih jauh antara konsep tasawuf dan psikologi maka akan didapatkan gambaran bahwa antara tasawuf dan psikologi memungkinkan untuk kerja sama dan menemukan “titik temu” nya.

Lebih dari itu, dengan mengkaji karya-karya psikologi dan mendialogkannya dengan karya-karya doktrin-doktrin keagamaan (tasawuf) akan semakin mempersempit jurang pemisah antara keduanya. Tanpa itu semua, doktrin-doktrin keagamaan (tasawuf) yang pada dasarnya penuh dengan nilai-nilai keluhuran dan keutamaan akan semakin ditinggalkan, karena karakternya dituduh elitis dan cenderung melangit (untouchables), susah untuk diterima secara rasional.

Comments

  1. mohon beri alasan mengapa artikel anda diprotek/ga bisa dikopy? jika yg anda sampaikan merupakan kebenaran...anda tdk perlu takut, justru minta tlg tuk disebarkan tuk kemaslahatan ummat...

    ReplyDelete
  2. awalnya memang saya protek artikel di blog ini krn merasa tidak layak utk dirujuk. tapi belakangan sudah saya buka proteknya. hanya saja untuk mengcopy tidak menggunakan klik kanan, tetapi setelah diblok kemudian tekan ctrl c dan paste. mohon maaf atas ketidaknyamanan ini

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)