Pandangan al-Qur'an tentang Pihak Lain

Sebelum al-Qur’ân turun sebagai wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW, keadaan masyarakat tempat al-Qur’ân turun sudah memeluk beberapa agama dan/atau kepercayaan. Disamping agama Samawi dengan nabi yang jelas, Yahudi dan Nasrani, juga ada kepercayaan lain, seperti, Shâbi’în dan Majusi, ditambah lagi diantara mereka ada yang tidak bertuhan dan yang bertuhan banyak, yang oleh al-Qur’an disebut Kuffâr dan Musyrikûn.



Oleh karena itulah al-Qur’ân memberi pedoman yang tergolong rinci. al-Qur’ân memuat istilah-istilah untuk agama dan/atau kepercayaan lain, seperti; al-yahûd, alladzîna hâdû, banî isrâîl, an-nashârâ, ahl al-kitâb, alladzîna ûtûlkitâb, alladzîna utunnashîban min al-kitâb, ash-shâbi’în, al-majûs, disamping istilah-istilah khusus untuk mereka yang tidak bertuhan dan yang bertuhan banyak. Mereka yang tidak bertuhan disebut al-kuffâr, alladzîna kafarû, al-kâfirûn dan semacamnya. Sedangkan mereka yang bertuhan banyak disebut al-musyrikûn, alladzîna asyrakû dan semacamnya.



Adanya istilah-istilah tersebut tentunya menunjukkan sikap dan perlakuan yang jelas dari al-Qur’ân terhadap mereka yang berbeda di tengah-tengah masyarakat yang mempunyai pluralitas agama.



Al-Qur’ân memberikan sikap tegas kepada mereka yang berbeda, terutama sekali yang berkaitan dengan keimanan. Sesuai dengan salah satu misinya, bahwa al-Qur’ân mengajarkan monotheisme, maka al-Qur’ân tidak ada kompromi untuk itu. Sebagai salah satu contoh, al-Qur’ân mengecam keras orang kafir dan orang musyrik. 



Namun di sisi lain, al-Qur’ân ternyata juga sangat menghargai agama dan/atau kepercayaan lain. Bahkan terhadap orang kafir sekalipun, al-Qur’ân masih tetap toleran dengan menyebut kekafiran sebagai dîn (agama). Sikap tegas dan keras, kemudian diwarnai dengan sikap kompromis dan toleran yang dilakukan al-Qur’ân terhadap agama dan/atau kepercayaan lain merupakan hal yang sangat menarik untuk dipelajari dan dikaji secara mendalam, agar umat Islam, khususnya, dan umat beragama, pada umumnya, dapat mengambil contoh dan pelajaran dari al-Qur’ân, sehingga terbentuklah religiusitas/keberagamaan setiap umat beragama dengan baik dan benar.

SIKAP AL-QURÂN TERHADAP PIHAK LAIN




Menurut Farid Esack, pemahaman mengenai sikap al-Qur’ân terhadap pihak lain dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, pemahaman yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim tradisional-konservatif. Mereka mengambil jalan apa yang hanya dapat digambarkan dengan kekuatan bahasa dan berusaha memahami semua teks al-Qur’ân menjadi makna yang eksklusif. Kedua, pemahaman yang dilakukan oleh sarjana-sarjana liberal. Mereka berpendapat bahwa tidak ada teks Alquran yang mencela pihak lain. 




Menurut hemat penulis, mengatakan bahwa sikap al-Qur’ân mengenai pihak lain semata-mata eksklusif merupakan pendapat yang keliru, begitu pula mengatakan bahwa sikap al-Qur’ân mengenai pihak lain semata-mata inklusif juga merupakan pendapat yang keliru. Dengan kata lain bahwa sikap al-Qur’ân terhadap pihak lain adalah eksklusif dan sekaligus pula inklusif. Mungkin tidak salah jika dikatakan adanya ambivalensi al-Qur’ân dalam hal ini. 




Oleh karena itulah, kapan al-Qur’ân bersikap eksklusif dan kapan bersikap inklusif merupakan sebuah persoalan yang sangat penting dan harus dipahami secara mendalam dan komprehensif. Sebab bersikap eksklusif atau inklusif dalam beragama dalam konteks yang salah akan menjadi preseden buruk bagi kelangsungan dan keharmonisan kehidupan beragama. Padahal agama pada prinsipnya bertujuan untuk membawa manusia pada kebahagiaan yang hakiki.




Adapun sikap al-Qur’ân terhadap pihak lain sepanjang pengamatan penulis dapat dibedakan ke dalam tiga sikap, yaitu: eksklusivisme, inklusivisme dan paralelisme.




Yang dimaksud dengan eksklusivisme adalah sikap yang mengatakan bahwa hanya dirinya saja lah yang benar, sedang pihak lain adalah salah. Inklusivisme adalah sikap open-minded terhadap kebenaran yang dimiliki pihak lain sepanjang mempunyai keterkaitan dengan kebenarannya sendiri. Paralelisme adalah sikap yang menjadikan segala perbedaan yang terjadi antara dirinya dan pihak lain sesungguhnya mempunyai persamaan atau titik temu. 




Sikap eksklusif al-Qur’ân terhadap pihak lain terutama terjadi pada saat al-Qur’ân melakukan sanggahan terhadap orang Kafir, orang Musyrik, bahkan juga terhadap agama selain Islam. Di antara sikap ekslusif al-Qur'ân terhadap pihak lain dapat berupa pencelaan, ancaman siksa dan sikap tidak bersahabat. Contoh kongkritnya antara lain, al-Qur’ân mencela orang Musyrik dan para penyembah berhala sebagai orang yang sesat dan lemah. Contoh lain, berupa ancaman al-Qur’ân terhadap orang-orang Kafir dengan siksa yang pedih baik di dunia ataupun di akhirat. Contoh lainnya lagi adalah larangan al-Qur’ân kepada umat Islam untuk menjadikan orang Kafir, orang Yahudi dan orang Nasrani sebagai penolong atau partner, lebih-lebih sebagai pemimpin. 




Adapun sikap inklusif al-Qur’ân terhadap pihak lain, terutama sekali ditujukan kepada agama/pemeluk agama selain Islam. Dalam hal ini, al-Qur’ân tanpa ragu-ragu membenarkan keimanan agama lain, bahkan melarang umat Islam menggangu, apalagi memusuhi mereka. Al-Qur’ân juga melarang umat Islam memaksakan agama Islam kepada pemeluk agama lain. Islam hadir hanya untuk memperbaiki dan menyempurnakan agama-agama yang sudah ada dari penyelewengan-penyelewengan sebagai akibat dari perjalanan sejarah. Sebaliknya umat Islam diperintahkan untuk menjaga keharmonisan hubungan dan melakukan dialog dan kerja sama dengan orang yang beragama lain dengan cara yang baik. 



Sedangkan sikap paralelisme al-Qur’ân terhadap pihak lain ditunjukkan dengan tidak adanya diskriminasi antara semua pemeluk agama dalam hal mendapat pahala di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Siapa saja yang beriman dan berbuat baik, dia akan mendapat pahala dari Tuhan, dan tidak ada kekhawatiran baginya dan tidak pula dia bersedih hati. Sikap paralelisme terhadap pihak lain juga ditunjukkan al-Qur’ân dengan pernyataannya bahwa semua agama akan diberi penilaian atau keputusan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa di hari Kiamat nanti. Ini artinya bahwa semua pemeluk agama berada pada posisi yang sama untuk mengamalkan agamanya dengan sebaik-baiknya. Sikap paralelisme al-Qur’ân lainnya terhadap pihak lain tercermin pula dalam seruannya kepada agama lain untuk mencari titik temu atau persamaan. Jadi dalam hal ini, pada prinsipnya semua agama adalah sama. Jika tidak, mana mungkin al-Qur’ân menyeru agama lain kepada suatu titik temu atau persamaan. Hanya saja, tidak sedikit agama yang menyimpang dari apa yang sebenarnya --tidak terkecuali agama Islam sendiri-- sebagai akibat dari perjalanan sejarah.

CARA AL-QURÂN MENYIKAPI PIHAK LAIN




Di atas telah dijelaskan bahwa sikap al-Qur’ân terhadap pihak lain secara umum tercermin dalam tiga sikap; ekslusivisme, inklusivisme dan paralelisme. 




Ketiga sikap ini diterapkan al-Qur’ân dengan cara kontekstual, yaitu; dengan cara menghubungkan yang dogmatis dengan hal-hal yang bersifat sosio-kultural. Meminjam istilah Farid Esack, sikap ini ditunjukkan dengan menghubungkan yang orthodoksi dengan yang orthopraksis, atau dalam istilah Mukti Ali, menggabungkan yang doktriner dengan yang sainstifik. Demikian pula, dalam tataran tertentu, Kuntowijoyo memformulasikan ketiga sikap ini dengan usaha memadukan yang normatif dengan yang historis. Maksudnya adalah bahwa setiap al-Qur’ân menyikapi pihak lain--baik dengan sikap ekslusivisme atau inklusivisme atau paralelisme--selalu dikaitkan dengan perilaku mereka dalam konteks sosio-kultural. Pencelaan al-Qur’ân terhadap orang Kafir, misalnya, tidak semata-mata karena keingkaran mereka kepada Tuhan dan risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW saja, tetapi juga karena perbuatan buruk yang mereka lakukan, seperti sombong, zalim dan lain-lain.




Cara lain yang juga ditempuh al-Qur’ân dalam menyikapi pihak lain adalah jauh dari apa yang disebut dengan pengeneralisasian atau penyamarataan. 




Pencelaan al-Qur’ân terhadap agama atau pemeluk agama lain dapat dikatakan hampir selalu diikuti dengan pengecualian, artinya tidak merujuk pada keseluruhan dari mereka, misalnya dengan ungkapan; "di antara mereka", "kebanyakan dari mereka", "sebagian dari mereka", dan "segolongan/sekelompok dari mereka". 

Selian itu, pencelaan atau bahkan pujian al-Qur’ân terhadap agama atau pemeluk agama lain juga selalu terkait dengan konteks historis, yaitu ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu pada masanya. Hal ini tentu saja menghendaki kita untuk tidak begitu saja menyamakan kelompok yang dulu dengan yang ada sekarang atau yang sekarang dengan yang dulu, meskipun institusinya sama.


Disamping itu, persoalan agama atau kepercayaan, kata Farid Esack, bukan elemen keturunan sebagaimana warna kulit atau warna mata. Agama atau kepercayaan adalah semata-mata urusan pribadi. Jadi sangat tidak adil jika kekufuran atau keimanan seseorang didasarkan secara genetik.


Mungkin pemikiran ini akan lebih jelas bila dihubungkan dengan pemahaman Q.S. al-Mâidah/5: 82. Dalam ayat ini al-Qur’ân mencela sikap permusuhan yang dilakukan oleh orang Yahudi dan orang Musyrik terhadap umat Islam. Sementara itu al-Qur’ân memuji orang Nasrani yang penuh persahabatan karena adanya para pendeta dan karena mereka tidak menyombongkan diri.




Menurut Taha Husein yang dimaksud dengan orang Yahudi dan orang Musyrik serta orang Nasrani dalam ayat di atas adalah mereka yang hidup pada masa nabi Muhammad SAW. Permusuhan yang dilancarkan oleh orang Yahudi di Madinah dan orang Musyrik di Mekkah ketika itu sangat terkait dengan persoalan sosial-politik. Kehadiran umat Islam di Mekkah dan di Madinah dirasakan telah mengancam supremasi sosial-politik mereka. Oleh karena itulah mereka sangat antipati dengan umat Islam. Sedangkan sikap bersahabat orang Nasrani disebabkan umat Islam dianggap tidak mengancam mereka secara sosial-politik, karena tidak memasuki wilayah kekuasaan mereka, yaitu di Hairah atau Najran. Oleh karena itulah, sikap bersahabat orang Nasrani dalam ayat di atas dikaitkan pula dengan peran para Pendeta (pemimpin agama Nasrani) yang memegang basis politik di kalangan mereka.




Cara lainnya yang digunakan al-Qur’ân dalam menyikapi pihak lain adalah dengan cara mengungkapkan satu objek dengan banyak terma yang digunakan secara bergantian. Contohnya antara lain tentang pengungkapan agama atau pemeluk agama Yahudi, terkadang diungkapan dengan terma Yahudi, terkadang dengan terma bani Israil, terkadang dengan Hûd, dan terkadang dengan menggunakan prase deskriptif (alladzîna hâdû). 

Selain itu, al-Qur’ân juga sering mengungkapkan pihak lain dengan sebuah terma yang sangat mungkin untuk dipahami dalam banyak pengertian, sehingga kadang-kadang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lain secara pasti. Kemungkinannya hanya bisa diungkapkan perkiraan dari esensi maknanya saja. Sebagai salah satu contoh, istilah Kafir (orang yang melakukan kekufuranan) bisanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan unbeliever (orang yang tidak percaya/ingkar) atau non-Muslim (orang yang memeluk agama selain Islam). Padahal pengertian kufr sangat luas, mencakup perilaku-perilaku sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, sehingga dalam kasus-kasus tertentu pemeluk agama Islam sendiri bisa terjerumus ke dalam kekufuran.


Menurut hemat penulis, hikmah atau pelajaran yang terpenting dari beragamnya cara al-Qur’ân dalam menyikapi pihak lain adalah agar pengeneralisasian dan pencelaan yang tidak adil terhadap pihak lain dapat dihindari. Dengan demikian, konflik-konflik antar pemeluk agama yang terjadi di masa lalu, tidak layak untuk dijadikan alasan persengkataan di masa kini.

PENUTUP




Dari uraian di atas jelaslah betapa logis dan rasionalnya al-Qur’ân dalam menyikapi adanya sebagian manusia yang tidak beriman kepadanya, yang diistilahkan dengan pihak lain.




Sikap ekslusivisme al-Qur’ân, baik berupa ancaman, cercaan dan hinaan kepada pihak lain tidaklah dilakukan secara absolut/mutlak, tetapi selalu diikuti dengan pengecualian dan terkait dengan kehidupan sosio-kultural. Begitu pula dengan sikap inklusivisme dan paralelisme, dimana penghargaan al-Qur’ân kepada keimanan dan keyakinan pemeluk agama lain tetap disertai dengan perbuatan baik sebagai manivestasi dari keimanan.



Singkatnya, bahwa toleransi dan tidak fanatik menjadi penekanan ajaran al-Qur’ân dalam kaitannnya dengan adanya pihak lain. Hal ini bukan saja lantaran al-Qur’ân melarang pemaksaan untuk memeluk agama tertentu, tapi juga al-Qur’ân sendiri menegaskan bahwa kalau Allah SWT menghendaki, Dia akan menciptakan umat yang satu. Namun rupanya yang dikehendaki adalah sebaliknya, agar terwujud kompetisi dalam berbuat kebaikan.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)