Agar Rezki Penuh Keberkahan
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan
berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun
dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk
memperolehnya?
Makna Keberkahan
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan
berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun
dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk
memperolehnya?
Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang
kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para
kiyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang
memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar
cita-citanya tercapai?
Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu
bahasa Arab maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan
mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat
luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah
dan kebahagian. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna keberkahan,
ialah kebaikan yang banyak dan abadi”
Kisah Nyata : DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb
Yang Maha Pengampun” [Saba : 15]
Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami
kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam
Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa Saba’,
suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka
dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum
wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka.
Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu
melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi
keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’
tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu
lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka.
Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat
Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh,
biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar dibanding
dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian
kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan
melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan
Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan
bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa
keadilan ditegakkan”
Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk
mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita
bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya
diberkahi Allah?
DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan
dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita
diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.
Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” [Al-A’raf : 96]
Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang
kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan
keberkahan dalam hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa
rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu
wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian
itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap
manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa
membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita
lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan
sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam
sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah
menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu
karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah
sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan
lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah : 78]
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya,
misalnya ketika makan.
“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang
sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau
dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent),
niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu
Hibban]
Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak
menggauli istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah
jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau
karuniakan kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari
hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR
Al-Bukhari]
Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak
menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan
anak keturunan.
Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah
dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat
datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul
Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil
dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan
makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah : 66]
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
“mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit
dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai
kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau
berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]
Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal
shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada
kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga
agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah
pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di
kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai
kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Rabbmu” [Al-kahfi : 82]
Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan
dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak
tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa
hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat
dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal
shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi
syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi,
agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah’ [6]
Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau
bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa
yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya
akibat dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]
Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi
salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa
umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya
makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk”
[Muttafaqun ‘alaih]
Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung
puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari,
mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi
hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan
pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil
daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk
disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum
mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]
(Bersambung….)
Saudaraku
Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Dialah pencipta segala
KEAJAIBAN. Maka jangan batasi keimanan Anda akan kasih sayang, dan kemurahan
rezeki-Nya. Saatnya kita menjemputnya dengan CARA yang benar. Bisa!
dikutip dari http://smkplusqurrotaayungarut.blogspot.com/2013/03/2-syarat-agar-rezeki-penuh-berkah.html
ReplyDelete