Yang Tunggal di Sebalik Kepelbagaian

Judul kita kali ini mencoba untuk menangkap hakikat yang Tunggal atau Esa di sebalik segala yang zahir dalam kepelbagaian, menemukan hakikat Tuhan di sebalik keragaman kehidupan ini. Dalam bahasa sufi dikenal dengan istilah "Syuhud al-Wahdah fi al-Kathrah", yaitu menyadari ke-Maha Esa-an Tuhan ketika menyaksikan kemajemukan makhluk ciptaan-Nya.


Kepelbagaian alam raya ini membuktikan wujud dan keesaan Tuhan. Tidak sedikit di antara kita yang pikirannya tidak mampu memahami betapa luasnya alam raya dengan pelbagai venomena yang menghiasinya, keindahan, keserasian, dan keharmonisannya, tanpa kehadiran Tuhan di sebalik kepelbagaian ini. Tuhan menunjukkan kerajaan dan kekuasaan-Nya kepada kita dengan membentangkan dalil-dalil kewujudan-Nya berupa kepelbagaian alam ciptaan-Nya. Segala sesuatu yang diciptakan-Nya, walau yang bisu sekalipun, adalah hujjah bernas yang berbicara tentang wujud-Nya. Mata tidak melihatnya, tetapi Dia berada di sebalik pelbagai ciptaan-Nya.

Tuhan adalah al-Zhahir sekaligus al-Batin. Hakikat zat dan sifat-Nya tersembunyi di sebalik kezahirannya. Bukan berarti wujud-Nya tidak jelas, malah sebaliknya, Dia teramat jelas, sehingga mata dan pikiran silau tak berkemampuan memandang-Nya. Seandainya matahari tidak beredar, maka kita akan menyangka bahwa cahaya yang nampak di pentas bumi ini bersumber dari masing-masing benda, kita tidak mengira bahwa sebenarnya dia adalah akibat cahaya matahari. Tapi karena cahaya matahari menghilang dari ufuk, dan terbenam, maka ketika itu kita sadar bahwa penyebabnya adalah matahari. Dan, dengan demikian maka matahari ada wujudnya. He he he.

Al-Razi (w. 1210 M.) menulis, "seandainya dimungkinkan ketiadaan wujud Allah di sebalik kepelbagaian alam ini, maka ketika itu kita akan sepenuhnya yakin bahwa segala wujud adalah bersumber dari wujud Allah."

Al-Ghazali sebagaimana diulas oleh Ata'illah dalam akhir pembahasan kitab al-Hikam menerangkan, bahwa "ketersembunyian-Nya disebabkan oleh kejelasan-Nya yang luar biasa, dan kejelasan-Nya yang luar biasa disebabkan oleh ketersembunyiannya. Cahaya-Nya adalah tirai cahaya-Nya, karena semua yang melampaui batas akan berakibat munculnya sesuatu yang bertentangan dengannya." (Lihat "Kemahakuasaan Allah: an ihtajaba bila hijab" dalam blog ini)

Ayat-ayat Tuhan, yakni bukti-bukti dan tanda wujud keesaan-Nya terhampar di mana-mana. Ia tertuang dalam kitab suci-Nya, juga terhampar di alam raya ciptaan-Nya. Yang terhampar itu ada yang ditemukan pada diri manusia, secara individu atau kolektif, dan ada juga pada benda-benda, atau peristiwa-peristiwa alam dan masyarakat. Semua itu menunjukkan bahwa di sebalik kepelbagaian alam ini ada terdapat Tuhan.

Ayat-ayat Tuhan baik yang tertulis dalam kitab maupun ayat kawniyah yang nampak pada kepelbagaian alam ini mampu membimbing manusia mencapai puncak evolusinya dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai hamba dan insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi sesiapa saja yang hendak memperhatikannya. Ayat-ayat Tuhan juga bisa menjadi sarana latihan olah jiwa yang pada akhirnya membuahkan wawasan pemerhatinya, meluas melalui alam fisika, masuk ke alam metafisika sambil merasakan kenikmatan ruhani.

Kebanyakan kita memahami kepelbagaian ayat kawniyah ini sesuai dengan tingkat pengetahuan kita. Benda yang sama dapat dipahami secara berbeda oleh ilmuwan dan cendikiawan sejalan dengan taraf keahliannya, lalu masing-masing dapat menarik pelajaran darinya. Kepelbagaian ayat Tuhan itu di samping dapat memuaskan nalar juga menenangkan pikiran dan menyucikan hati siapa saja yang mau menggunakan akalnya.

Tuhan berjanji di dalam kitab-Nya: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka kepelbagaian tanda-tanda (ayat-ayat) kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ia adalah haq" (Q.S. Fushshilat [41]: 53). Kata "Kami" yang digunakan dalam ayat ini mengandungi isyarat tentang perlunya keterlibatan dan kesungguhan manusia untuk merenung dan memperhatikan agar Allah turun tangan memperlihatkan makna dan pesan-Nya. Dalam istilah sufi dinamakan upaya salik dalam bentuk taraqi dan tanazul dalam teori hulul.

Sufi, dalam memperhatikan kepelbagaian ini tidak hanya menggunakan kecerdasarn berpikir atau mata kepala, tetapi mengandalkan kecerdasan spiritual dan emosional sekaligus, atau mata hati dalam bentuk kasyaf dan dhawq. Dan, itulah yang mampu menghantarnya kepada perjumpaan dengan tuhannya. Tanpa kecemerlangan spiritual dan emosional, tidak mungkin seseorang dapat menjangkau al-Haqq di sebalik kepelbagaian ini, persis seperti seseorang yang akan menikmati merdunya musik, dengan menggunakan matanya sambil menutup telinga. Sesuatu perbuatan yang tidak akan membuahkan hasilnya yang pantas. Beginilah yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah di masa lalu, yang kemudian mengatai perbuatan sufi sebagai takhayul dan bid'ah. Demikian juga yang dilakukan oleh orang jahiliyah modern dengan kajian dan penelitian ilmiahnya, membuatkan mereka semua tidak bisa memahami kecuali fenomena empiris yang mereka tangkap dengan mata kepala. Mereka lupa siapa di sebalik fenomena kepelbagaian itu.

Al-Qur'an menyindir:
يعلمون ظاهرا من الحياة الدنيا وهم عن الأخرة هم غافلون (الروم: 7)

"Mereka mengetahui dunia sebagai yang zahir dari kehidupan, namun mereka lalai tentang kehidupan akhirat". Kehidupan akhirat adalah yang batin dari kehidupan di alam ini. (Perbahasan tentang makna kehidupan akhirat insyaallah akan kami sajikan dalam posting berikutnya)

Berkaitan dengan ayat di atas, Tuhan pun memperingatkan apa yang bakal berlaku terhadap mereka:

سأصرف عن ءاياتى الذين يتكبرون فى الأرض بغير الحق وإن يروا كل أية لا يؤمنون بها وإن يرو سبيل الرشد لا يتخذوه سبيلا وإن يروا سبيل الغي يتخذوه سبيلا ذلك بأنهم كذبوا بأياتنا وكانوا عنها غافلين. (الأعراف: 146)

"Aku akan memalingkan dari kepelbagaian ayat-Ku orang-orang yang sangat angkuh di bumi tanpa "haq". Mereka itu, jika melihat setiap ayat mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan petunjuk, mereka tidak menjadikannya jalan, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menjadikannya jalan. Yang demikian itu disebabkan karena mereka mendustakan kepelbagaian ayat Kami dan mereka terhadapnya selalu lalai."

Menumpukan pandangan hanya kepada mata zahir dan nalar empiris saja tidak cukup untuk dapat memahami kepelbagaian ciptaan Allah ini sebagai yang bisa menghantarkannya kepada pemahaman lebih bernas akan makna hidup dan fungsi manusia dalam pentas bumi ini. Perkara ini berbeda dengan segolongan orang yang disebut-sebut oleh ayat al-Qur'an di atas. Karena, boleh jadi menurut mereka, metode batin dan pencarian hakikat di sebalik fenomena zahir melalui pandangan mata hati adalah suatu perbuatan yang melampau atau berlebihan, mereka memandangnya sebagai takhayul, atau paham pantheisme yang bid'ah lagi sesat dan menyesatkan. Atau boleh jadi juga karena mereka melihatnya semata-mata sebagai fenomena alam semata-mata dan tidak mengaitkannya sedikitpun dengan ke-Maha esaan Allah. Na‛udhubillah min dhalik.

Memandang dan menangkap kepelbagaian ciptaan Tuhan tanpa menemukan al-haqq di sebaliknya bisa menjebak seseorang terbelenggu dalam keangkuhan, sehingga tidak dapat mengambil hikmah cahaya petunjuk yang sebenarnya bersinar gilang gemilang di sebalik kepelbagaian tanda kekuasaan Tuhan ini. Jebakan keangkuhan yang kuat pula menyebabkan mereka memilih jalan yang sesat untuk dilalui. Itulah jalan syirik karena tidak membawa mereka kepada tawhidullah secara total. Yaitu kesadaran total bahwa tidak ada wujud yang haqq kecuali hanya Allah. Padahal perkara ini tidak akan terjadi jika ia tidak lalai terhadap al-haqq, yaitu dengan mata hatinya menangkap Tuhan di sebalik venomena kepelbagaian ini "syuhud al-wahdah fi al-kathrah"

Wallahu a'lam bi al-shawab.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)